Oleh Samiaji Bintang
TELEPON berdering di rumah Muslikun di Dusun Tirem. Ketika itu Senin siang di akhir bulan Maret. Sebagian besar warga sibuk bekerja di ladang, tetapi Muslikun memilih istirahat di rumah.
Bapak dua anak ini belum genap sepekan pulang kampung. Selama berbulan-bulan dia jadi tukang batu dan kuli bangunan di Jakarta. Anaknya yang bungsu juga turut mengadu nasib di ibukota republik itu, jadi buruh konveksi di Pejagalan, Jakarta Utara.
Dusun Tirem terletak di kecamatan Mbrati, Grobogan, Jawa Tengah. Tirem bukan dusun yang kaya sumberdaya alam. Tak banyak aktivitas ekonomi yang berkembang di situ. Sebagian anak muda memilih pergi ke kota-kota besar di Jawa, macam Semarang, Surabaya, atau Jakarta. Mereka yang tinggal di kampung umumnya bekerja sebagai buruh tani.
“Muslikun, kamu mau berangkat ke Aceh ndak?” tanya lelaki di seberang sana.
Lelaki itu tetangga dan sahabat Muslikun. Namanya, Marzuki. Dia sudah beberapa hari berada di Aceh. Marzuki menjadi kuli bangunan untuk proyek pemukiman korban tsunami.
“Kalau kamu ndak kerja, kamu ndak punya modal. Ngapain kamu di kampung?” desak Marzuki di telepon.
Marzuki kemudian mengungkap nikmatnya pengalaman jadi kuli di daerah yang porak-poranda dilanda tsunami itu. Jika memilih menjadi tukang, upah bersih sehari Rp 45 ribu. Lembur sampai jam 10 malam, dihitung kerja sehari. Jadi dalam sehari kerja, dari pagi hingga malam, sudah bisa mengantongi uang Rp 90 ribu.
Mendengar cerita Marzuki, Muslikun segera membayangkan bakal kerja enak di Aceh. Bak kalkulator, otaknya segera menghitung jumlah uang yang didapat dalam sebulan kerja: Rp 2,7 juta. Nilai ini belum pernah didapat Muslikun selama sebulan jadi kuli bangunan di Pulo Gadung, Slipi, Cililitan, Grogol, Bintaro atau tempat lain di Jakarta.
“Iya, aku mau ke sana,” sahut Muslikun.
Hari itu juga Muslikun mengundang beberapa tetangga untuk berkumpul di rumahnya. Agenda utama pertemuan tersebut adalah membahas tawaran Marzuki. Perhitungan upah yang bakal diterima juga diungkap. Empat belas tamu datang, termasuk Ahmad, Sulipin, Sumali, Parjono, Rohmat dan Maftuhin. Sulipin peserta rapat termuda. Usianya belum 20.
Kesimpulan rapat hari itu sudah bulat. Mereka sepakat menyusul Marzuki ke Serambi Mekkah.
Namun, ganjalan lain masih ada. Pasalnya, tiap orang harus menyediakan sendiri ongkos pesawat. Minimal Rp 1 juta per orang.
“Saya terpaksa gadaikan BPKB motor bebek saya untuk ongkos,” kisah Muslikun kepada saya. Selain itu, dia juga merasa beruntung, karena sempat menabung ketika jadi kuli di Jakarta. Surat kepemilikan kendaraan dihargai Rp 1,5 juta. Sebanyak satu juta digunakan buat ongkos ke Aceh. Sisanya untuk keluarga di rumah selama ia tinggalkan.
“Kalau saya terpaksa pinjam duit di bank BRI,” ujar Ahmad.
Parjono menempuh cara lain, “Saya keliling cari pinjaman ke teman-teman tetangga.”
Sulipin, Maftuhin, Rohmat, dan Sumali melakukan hal serupa, mulai dari pinjam ke teman sampai ke bank.
Kini masalah ongkos beres. Tujuh orang positif berangkat. Perbekalan pun disiapkan. Hari Kamis, selang tiga hari setelah rapat di rumah Muslikun, mereka naik bus dari terminal bus Purwodadi ke Jakarta. Jumat tujuh lelaki itu tiba di Jakarta. Ongkos mereka selanjutnya hanya cukup untuk beli tiket pesawat.
“Kami numpang menginap semalam di rumah teman, dan cari pinjaman ke teman-teman di Jakarta,” tutur Sumali.
Nasib mereka mujur. Pinjaman segera diperoleh. Sabtu pagi di awal April, mereka berangkat dari bandar udara Soekarno-Hatta menuju Aceh.
BAYANGAN bakal kerja enak, upah lembur tinggi, dan gaji lancar pupus begitu tiga pekan bekerja di PT BJM, sebuah subkontraktor lokal yang membangun pemukiman korban tsunami di daerah Bitai, Banda Aceh. Saat saya menanyakan nama lengkap perusahaan tersebut, tak seorang pun dari mereka yang tahu! Upah yang semula dijanjikan bakal dibayar tiap dua pekan sekali pada hari Selasa ternyata omong kosong.
“Mundur terus, kata orang BJM dimundurkan jadi Jumat. Pas hari Jumat, bilangnya Selasa. Selasa-Jumat, begitu terus,” ungkap Ahmad.
Parjono menimpali, “Memang dapat makan. Tapi gaji kami ndak dibayar.”
“Rombongan kami tidak ada yang dibayar. Saya mandornya di BJM. Sebelum terlalu banyak persoalan di situ, saya dan teman-teman langsung kabur dari situ,” kata Muslikun.
Kendati ada surat perjanjian kerja, itu tak menjamin para kuli bangunan akan menerima haknya sesuai isi perjanjian.
“Saya langsung sobek-sobek. Saya jengkel, buat apa (surat perjanjian) itu… Kami merasa dibohongi.” Dahi Muslikun berkerut. Ujung-ujung alisnya ikut naik.
Tujuh kuli itu pun memilih angkat kaki dari bedeng tempat mereka menginap ketimbang bekerja tanpa upah.
Soal subkontraktor nakal juga dikeluhkan Syaiful. Dia kepala tukang alias mandor proyek untuk pembangunan tepi pembatas jalan di ruas jalan Lampeneureut, Aceh Besar. Di samping itu Syaiful bersama sejumlah anak buahnya juga tengah menyelesaikan beberapa unit rumah bantuan.
Meski antara sesama orang Aceh, tidak berarti bebas dari kecurangan. Syaiful asli Aceh, kelahiran Banda Aceh. Dia kemudian menguraikan modus yang jamak dilakukan, “Jika pemborong A dapat proyek, dia akan cari sub lagi. Lalu kasih tawaran harga proyek lebih rendah dari yang dia dapat sebelumnya ke pemborong B. Ujung-ujungnya upah yang di bawah sampai ke kuli jadi ikut rendah. Padahal kebutuhan hidup di Aceh sudah makin mahal. Makanya saya tidak mau menerima tawaran kalau harga penyelesaian per unitnya sudah di bawah standar.”
Menurut Syaiful, harga standar penyelesaian satu unit rumah senilai Rp 15 juta. Namun angka itu masih bisa ditawar hingga Rp 12 juta. Di bawah angka tadi, jangan harap kehidupan layak bisa didapat para kuli.
“Tapi ada kontraktor dari Medan atau dari Jawa yang berani memasang harga Rp 8 juta. Kulinya diambil dari Jawa. Mereka pikir biaya hidup di Aceh sama dengan di Jawa, yang sepiring nasi bisa dapat Rp 3.000?”
Hendra, mandor yang saya temui di Lampuuk, Aceh Besar, membenarkan adanya pemborong curang. Untuk menjamin kesejahteraan anak buahnya yang umumnya orang Jawa kelahiran Medan, Hendra selalu meminta surat perjanjian, lengkap dengan alamat jelas masing-masing pihak.
“Biar jelas. Kalau ada apa-apa masing-masing bisa menuntut,” katanya.
Muslikun dan kawan-kawan sudah jadi korban. Tapi tujuh kuli itu tak putus asa. Mereka segera melamar ke Waskita Karya, kontraktor pelat merah alias Badan Usaha Milik Negara, yang membangun pemukiman dengan dana Turkish Red Cross Society.
Waskita Karya tengah membutuhkan banyak kuli bangunan. Mereka memperoleh proyek miliaran rupiah untuk membangun ratusan unit rumah. Di Bitai, Banda Aceh, mereka menggarap 350 unit rumah tipe 45. Total anggaran lebih dari Rp 30 miliar. Di Lampuuk, Aceh Besar, Waskita Karya kebagian mengerjakan 200 unit rumah bertipe sama. Pembangunan rumah-rumah itu juga didanai Turkish Red Cross Society. Beberapa waktu lalu, Waskita Karya pernah masuk daftar hitam Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh-Nias, karena jumlah rumah yang dibangun jauh di bawah target dan tenggat waktu. Padahal dana sudah keburu diberikan.
LAMPUUK adalah satu dari ratusan kampung yang paling parah dilanda tsunami. Ratusan rumah rata tanah, kecuali Masjid Rahmatullah yang memiliki tiang dan pondasi kokoh. Letak gampong ini sekitar satu kilometer dari pantai.
Ratusan pekerja tampak sibuk. Rencananya akan dibangun 700 unit rumah tipe 45 di sini. Rumah yang sudah selesai dibangun 200 unit. Sisanya akan dikerjakan subkontraktor Waskita Karya.
Seperti juga di Bitai, rata-rata kuli dari Jawa. Waskita sengaja memilih kuli dari Jawa. Mereka mendatangkan secara khusus kuli-kuli asal Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, hingga Jawa Barat. Sebanyak 400 orang. Di Bitai, lebih banyak lagi, 1.500 orang. Para kuli secara bertahap dipulangkan begitu target unit rumah dipenuhi.
“Pertama karena kemauan kerja. Mereka lebih bisa dipacu, karena mereka ‘kan kerja di rantau. Kalau yang lokal, mereka ‘kan bisa cepat pulang setelah bekerja, apa yang bisa dipacu. Kedua karena ketrampilan mereka sedikit di atas daripada orang lokal,” ujar Muchdir Arrys kepada saya. Muchdir kepala lapangan Waskita Karya untuk proyek pemukiman di Lampuuk.
“Tapi itu bukan berarti kami tidak mementingkan orang lokal. Kami juga mempekerjakan orang lokal kok,” lanjutnya.
Bukan hanya Waskita yang mengirim kuli dari Jawa untuk proyek di Lampuuk. Beberapa kontraktor di Lampuuk juga mempekerjakan kuli Jawa. Bedanya, kuli-kuli itu didatangkan dari Medan, Sumatera Utara.
Meski lahir dan hidup di Medan, nenek moyang mereka dari Jawa. Marsidi, contohnya. Lelaki 36 tahun yang kini bekerja di PT Kuala Batee Ind itu punya orangtua asli Wonosobo, Jawa Tengah. Di Medan dia sempat bekerja sebagai buruh tani. Namun penghasilan buruh tani amat rendah. Itu sebabnya Marsidi mengangguk saja ketika ada teman yang menawarinya kerja di Aceh.
Contoh lain, Priadi, 19 tahun. Nenek, kakek hingga paman dan bibi pemuda yang baru lulus sekolah menengah atas di Medan ini berasal dari Ponorogo, Jawa Timur.
Mereka juga masih menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari. Akibatnya, kawasan Lampuuk tak ubah perkampungan orang Jawa.
Mereka tinggal di bedeng-bedeng berdinding anyaman rumbia, beratap seng. Ada juga yang berdinding tripleks. Beberapa. Atap seng membuat terik matahari siang bakal “merebus” siapa pun yang berada dalam bangunan itu.
Luas bedeng sekitar 6 x 4 meter persegi. Daya tampung satu bedeng bisa mencapai 20 orang, seperti bedeng yang dihuni Marsidi. Baju, celana, dan handuk bergelantungan di seluruh dinding!
“Kalau tidur, ya jempol jumpa jempol.” Marsidi terkekeh. Belum lagi keringat beradu keringat, pikir saya.
Muslikun dan enam kawannya juga merasakan kondisi yang sama di Bitai. Baru beberapa hari ini mereka memilih pindah dari bedeng ke rumah yang hampir selesai dibangun. Alasan mereka, bedeng itu dihuni terlalu banyak orang. Jarak bedeng ke tempat kerja pun lumayan jauh.
Meski berada di bangunan yang lebih baik, tujuh kuli itu tetap tidur dengan alas seadanya, seperti tikar plastik, tripleks, terpal, atau kardus bekas.
Ketika malam datang, yang ada cuma gelap. Letak warung cukup jauh dari tempat mereka menginap. Jika mereka lapar, maka terpaksa masak sendiri ketimbang pergi ke warung.
Program berhemat dijalankan. Ongkos berangkat ke Aceh yang dihimpun dengan cara berutang kiri-kanan itu belum lunas. Bahkan, di hari Minggu atau hari libur mereka tetap bekerja untuk mengumpulkan uang lebih banyak agar utang terbayar.
“Kalau libur ya rugi. Kalau ndak sakit, ya lebih baik kerja saja. Buat apa libur, sudah datang jauh-jauh, ya rugi tho,” kata Muslikun, dengan logat Jawa Tengahan yang kental.
Mereka benar-benar seperti pekerja rodi atau kuli kontrak Jawa di masa penjajahan Belanda. Bedanya, mereka dibayar dan bekerja tak kenal waktu atas keinginan sendiri.
“Kalau di Waskita sudah tidak ada kerja, kita mau cari di tempat lain. Rencananya mau Lebaran baru kami pulang ke Jawa, setelah duit terkumpul.” Muslikun mengungkap impiannya.
PADA 1863, kapal Josephine melego jangkar di pelabuhan Sumatra Timur. Kapal itu mengangkut ratusan kuli kontrak asal Jawa yang didatangkan Jacobus Nienhuijs. Dia pengusaha Belanda yang membuka perkebunan tembakau di Deli.
Keharuman tembakau Deli sudah tersohor di pasar Eropa. Nienhuijs berencana memperluas lahan kebunnya agar produksi tembakau Deli bertambah dan menghasilkan keuntungan berlipat ganda.
Semula Nienhuijs hanya memakai tenaga orang Tionghoa dari Penang yang disebut laukeh. Tapi kemudian dia juga mempekerjakan puluhan kuli harian asal Melayu.
Pasokan kuli dari Tiongkok tersendat, ketika pemerintah negeri itu mempersulit warganya ke Deli. Di lain pihak, pemerintah Inggris di India juga mengajukan berbagai syarat bagi pekerja Tamil yang hendak ke Deli. Namun, calo buruh kebun di Penang dan Singapura tak kekurangan akal. Mereka mendatangkan kuli ke Deli, dengan dalih hendak mempekerjakan mereka di Johor.
Bagi tuan-tuan kebun, penduduk setempat, seperti orang Melayu dan Karo, dianggap tidak cocok jadi kuli. Mereka suka melawan.
“Tenaga kuli bangsa-bangsa Sumatera tidak laku dan tidak diterima di Deli, sebab mereka tidak patuh dan taat seperti kuli-kuli kontrak Jawa. Begitu pula mereka meminta gaji lebih dari kuli-kuli Jawa. Jika kuli-kuli Jawa tidak mau bekerja, mereka akan dimasukkan dalam penjara, siapa yang membantu mereka untuk lari akan dikenakan hukuman juga,” ungkap Nienhuijs dalam Oos-Indische Spiegel, yang terbit di Amsterdam pada 1876.
Istilah resmi Koelie-Ordonnantie atau Contract-Koelie yang disebut juga kuli kontrak muncul pada 1889. Aturan ini hanya berlaku bagi kuli asal luar negeri (Tiongkok dan Tamil) serta orang Indonesia dari luar Sumatra Timur. Karena itu jumlah kuli asal Jawa terus bertambah setelah Nienhuijs membawa mereka ke Deli. Jumlah tersebut mengalahkan jumlah buruh kebun asal Tiongkok dan Tamil.
Kata “koelie” diperkirakan berasal dari bahasa Inggris “cooli” yang mengadopsi kata “kuli” dari bahasa Tamil, yang artinya orang upahan untuk pekerjaan kasar. Kuli kontrak adalah sebutan bagi orang-orang miskin di Jawa yang kemudian mengikatkan diri pada perjanjian kerja. Tapi hidup yang mereka dapat di kebun jauh dari sejahtera. Banyak yang menderita berkepanjangan. Dalam Capitalism and Confrontation in Sumatra's Plantation Belt 1870-1979, Ann Laura Stoler menulis, “kuli adalah binatang yang harus dijinakkan, karena kuli adalah modern slavery.” Kuli sama dengan budak!
Saat perkebunan tembakau beralih ke karet pada 1926, kuli kontrak laki-laki Jawa terus bertambah hingga berjumlah 142.000 orang, sedangkan buruh perempuan asal Jawa 52.400 orang. Menurut catatan pemerintah Belanda, pada tahun 1920 jumlah orang Jawa di Sumatra Timur mencapai 353.551 orang, melebihi jumlah orang Melayu yang tercatat 285.553 orang.
Sama seperti kuli-kuli Jawa di Aceh masa kini, para kuli kebun ini pun tinggal di bedeng-bedeng. Tak sedikit yang disiksa dengan kejam ketika terjadi perkelahian atau pemberontakan atau pembunuhan di kebun. Sejarah masa lalu terus berlanjut. Pulau Jawa tak hanya pusat kekuasaan, melainkan juga pulau pemasok kuli atau orang upahan terbesar sampai ke milenium ini.
SENJA turun di Lampuuk awal Juni lalu. Pertanda gelap bakal menyelimuti perkampungan kuli. Saya mendengar dentam house music dari deretan warung.
Sebagian warung sudah menyalakan televisi dan memacak antena parabola yang akan menayangkan pertandingan sepak bola di ajang Piala Dunia di Jerman. Siaran itu menjadi obat lelah ratusan kuli di malam hari. Tapi tontonan tadi baru bisa disaksikan selepas sholat Isya.
“Sejak Maghrib sampai Isya, tidak ada warung yang buka. Setelah itu baru ada tontonan bola,” kata Hendra, salah seorang mandor.
Sebaliknya di Bitai, ketujuh kuli asal tanah Jawa tak banyak menikmati gempita Piala Dunia yang disaksikan jutaan pemirsa. Lewat jam 10 malam, mereka memilih mendekam di bangunan yang belum selesai. Beristirahat setelah lembur.
“Capek Mas,” kata Ahmad. Sulipin malah sudah rebah di lantai.
“Warung yang punya TV juga sudah tutup. Jadi mendingan istirahat saja. Besok ‘kan mesti kerja lagi,” imbuh Muslikun, sebelum saya berpamitan.
*) Samiaji Bintang adalah kontributor Pantau di Banda Aceh.
TELEPON berdering di rumah Muslikun di Dusun Tirem. Ketika itu Senin siang di akhir bulan Maret. Sebagian besar warga sibuk bekerja di ladang, tetapi Muslikun memilih istirahat di rumah.
Bapak dua anak ini belum genap sepekan pulang kampung. Selama berbulan-bulan dia jadi tukang batu dan kuli bangunan di Jakarta. Anaknya yang bungsu juga turut mengadu nasib di ibukota republik itu, jadi buruh konveksi di Pejagalan, Jakarta Utara.
Dusun Tirem terletak di kecamatan Mbrati, Grobogan, Jawa Tengah. Tirem bukan dusun yang kaya sumberdaya alam. Tak banyak aktivitas ekonomi yang berkembang di situ. Sebagian anak muda memilih pergi ke kota-kota besar di Jawa, macam Semarang, Surabaya, atau Jakarta. Mereka yang tinggal di kampung umumnya bekerja sebagai buruh tani.
“Muslikun, kamu mau berangkat ke Aceh ndak?” tanya lelaki di seberang sana.
Lelaki itu tetangga dan sahabat Muslikun. Namanya, Marzuki. Dia sudah beberapa hari berada di Aceh. Marzuki menjadi kuli bangunan untuk proyek pemukiman korban tsunami.
“Kalau kamu ndak kerja, kamu ndak punya modal. Ngapain kamu di kampung?” desak Marzuki di telepon.
Marzuki kemudian mengungkap nikmatnya pengalaman jadi kuli di daerah yang porak-poranda dilanda tsunami itu. Jika memilih menjadi tukang, upah bersih sehari Rp 45 ribu. Lembur sampai jam 10 malam, dihitung kerja sehari. Jadi dalam sehari kerja, dari pagi hingga malam, sudah bisa mengantongi uang Rp 90 ribu.
Mendengar cerita Marzuki, Muslikun segera membayangkan bakal kerja enak di Aceh. Bak kalkulator, otaknya segera menghitung jumlah uang yang didapat dalam sebulan kerja: Rp 2,7 juta. Nilai ini belum pernah didapat Muslikun selama sebulan jadi kuli bangunan di Pulo Gadung, Slipi, Cililitan, Grogol, Bintaro atau tempat lain di Jakarta.
“Iya, aku mau ke sana,” sahut Muslikun.
Hari itu juga Muslikun mengundang beberapa tetangga untuk berkumpul di rumahnya. Agenda utama pertemuan tersebut adalah membahas tawaran Marzuki. Perhitungan upah yang bakal diterima juga diungkap. Empat belas tamu datang, termasuk Ahmad, Sulipin, Sumali, Parjono, Rohmat dan Maftuhin. Sulipin peserta rapat termuda. Usianya belum 20.
Kesimpulan rapat hari itu sudah bulat. Mereka sepakat menyusul Marzuki ke Serambi Mekkah.
Namun, ganjalan lain masih ada. Pasalnya, tiap orang harus menyediakan sendiri ongkos pesawat. Minimal Rp 1 juta per orang.
“Saya terpaksa gadaikan BPKB motor bebek saya untuk ongkos,” kisah Muslikun kepada saya. Selain itu, dia juga merasa beruntung, karena sempat menabung ketika jadi kuli di Jakarta. Surat kepemilikan kendaraan dihargai Rp 1,5 juta. Sebanyak satu juta digunakan buat ongkos ke Aceh. Sisanya untuk keluarga di rumah selama ia tinggalkan.
“Kalau saya terpaksa pinjam duit di bank BRI,” ujar Ahmad.
Parjono menempuh cara lain, “Saya keliling cari pinjaman ke teman-teman tetangga.”
Sulipin, Maftuhin, Rohmat, dan Sumali melakukan hal serupa, mulai dari pinjam ke teman sampai ke bank.
Kini masalah ongkos beres. Tujuh orang positif berangkat. Perbekalan pun disiapkan. Hari Kamis, selang tiga hari setelah rapat di rumah Muslikun, mereka naik bus dari terminal bus Purwodadi ke Jakarta. Jumat tujuh lelaki itu tiba di Jakarta. Ongkos mereka selanjutnya hanya cukup untuk beli tiket pesawat.
“Kami numpang menginap semalam di rumah teman, dan cari pinjaman ke teman-teman di Jakarta,” tutur Sumali.
Nasib mereka mujur. Pinjaman segera diperoleh. Sabtu pagi di awal April, mereka berangkat dari bandar udara Soekarno-Hatta menuju Aceh.
BAYANGAN bakal kerja enak, upah lembur tinggi, dan gaji lancar pupus begitu tiga pekan bekerja di PT BJM, sebuah subkontraktor lokal yang membangun pemukiman korban tsunami di daerah Bitai, Banda Aceh. Saat saya menanyakan nama lengkap perusahaan tersebut, tak seorang pun dari mereka yang tahu! Upah yang semula dijanjikan bakal dibayar tiap dua pekan sekali pada hari Selasa ternyata omong kosong.
“Mundur terus, kata orang BJM dimundurkan jadi Jumat. Pas hari Jumat, bilangnya Selasa. Selasa-Jumat, begitu terus,” ungkap Ahmad.
Parjono menimpali, “Memang dapat makan. Tapi gaji kami ndak dibayar.”
“Rombongan kami tidak ada yang dibayar. Saya mandornya di BJM. Sebelum terlalu banyak persoalan di situ, saya dan teman-teman langsung kabur dari situ,” kata Muslikun.
Kendati ada surat perjanjian kerja, itu tak menjamin para kuli bangunan akan menerima haknya sesuai isi perjanjian.
“Saya langsung sobek-sobek. Saya jengkel, buat apa (surat perjanjian) itu… Kami merasa dibohongi.” Dahi Muslikun berkerut. Ujung-ujung alisnya ikut naik.
Tujuh kuli itu pun memilih angkat kaki dari bedeng tempat mereka menginap ketimbang bekerja tanpa upah.
Soal subkontraktor nakal juga dikeluhkan Syaiful. Dia kepala tukang alias mandor proyek untuk pembangunan tepi pembatas jalan di ruas jalan Lampeneureut, Aceh Besar. Di samping itu Syaiful bersama sejumlah anak buahnya juga tengah menyelesaikan beberapa unit rumah bantuan.
Meski antara sesama orang Aceh, tidak berarti bebas dari kecurangan. Syaiful asli Aceh, kelahiran Banda Aceh. Dia kemudian menguraikan modus yang jamak dilakukan, “Jika pemborong A dapat proyek, dia akan cari sub lagi. Lalu kasih tawaran harga proyek lebih rendah dari yang dia dapat sebelumnya ke pemborong B. Ujung-ujungnya upah yang di bawah sampai ke kuli jadi ikut rendah. Padahal kebutuhan hidup di Aceh sudah makin mahal. Makanya saya tidak mau menerima tawaran kalau harga penyelesaian per unitnya sudah di bawah standar.”
Menurut Syaiful, harga standar penyelesaian satu unit rumah senilai Rp 15 juta. Namun angka itu masih bisa ditawar hingga Rp 12 juta. Di bawah angka tadi, jangan harap kehidupan layak bisa didapat para kuli.
“Tapi ada kontraktor dari Medan atau dari Jawa yang berani memasang harga Rp 8 juta. Kulinya diambil dari Jawa. Mereka pikir biaya hidup di Aceh sama dengan di Jawa, yang sepiring nasi bisa dapat Rp 3.000?”
Hendra, mandor yang saya temui di Lampuuk, Aceh Besar, membenarkan adanya pemborong curang. Untuk menjamin kesejahteraan anak buahnya yang umumnya orang Jawa kelahiran Medan, Hendra selalu meminta surat perjanjian, lengkap dengan alamat jelas masing-masing pihak.
“Biar jelas. Kalau ada apa-apa masing-masing bisa menuntut,” katanya.
Muslikun dan kawan-kawan sudah jadi korban. Tapi tujuh kuli itu tak putus asa. Mereka segera melamar ke Waskita Karya, kontraktor pelat merah alias Badan Usaha Milik Negara, yang membangun pemukiman dengan dana Turkish Red Cross Society.
Waskita Karya tengah membutuhkan banyak kuli bangunan. Mereka memperoleh proyek miliaran rupiah untuk membangun ratusan unit rumah. Di Bitai, Banda Aceh, mereka menggarap 350 unit rumah tipe 45. Total anggaran lebih dari Rp 30 miliar. Di Lampuuk, Aceh Besar, Waskita Karya kebagian mengerjakan 200 unit rumah bertipe sama. Pembangunan rumah-rumah itu juga didanai Turkish Red Cross Society. Beberapa waktu lalu, Waskita Karya pernah masuk daftar hitam Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh-Nias, karena jumlah rumah yang dibangun jauh di bawah target dan tenggat waktu. Padahal dana sudah keburu diberikan.
LAMPUUK adalah satu dari ratusan kampung yang paling parah dilanda tsunami. Ratusan rumah rata tanah, kecuali Masjid Rahmatullah yang memiliki tiang dan pondasi kokoh. Letak gampong ini sekitar satu kilometer dari pantai.
Ratusan pekerja tampak sibuk. Rencananya akan dibangun 700 unit rumah tipe 45 di sini. Rumah yang sudah selesai dibangun 200 unit. Sisanya akan dikerjakan subkontraktor Waskita Karya.
Seperti juga di Bitai, rata-rata kuli dari Jawa. Waskita sengaja memilih kuli dari Jawa. Mereka mendatangkan secara khusus kuli-kuli asal Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, hingga Jawa Barat. Sebanyak 400 orang. Di Bitai, lebih banyak lagi, 1.500 orang. Para kuli secara bertahap dipulangkan begitu target unit rumah dipenuhi.
“Pertama karena kemauan kerja. Mereka lebih bisa dipacu, karena mereka ‘kan kerja di rantau. Kalau yang lokal, mereka ‘kan bisa cepat pulang setelah bekerja, apa yang bisa dipacu. Kedua karena ketrampilan mereka sedikit di atas daripada orang lokal,” ujar Muchdir Arrys kepada saya. Muchdir kepala lapangan Waskita Karya untuk proyek pemukiman di Lampuuk.
“Tapi itu bukan berarti kami tidak mementingkan orang lokal. Kami juga mempekerjakan orang lokal kok,” lanjutnya.
Bukan hanya Waskita yang mengirim kuli dari Jawa untuk proyek di Lampuuk. Beberapa kontraktor di Lampuuk juga mempekerjakan kuli Jawa. Bedanya, kuli-kuli itu didatangkan dari Medan, Sumatera Utara.
Meski lahir dan hidup di Medan, nenek moyang mereka dari Jawa. Marsidi, contohnya. Lelaki 36 tahun yang kini bekerja di PT Kuala Batee Ind itu punya orangtua asli Wonosobo, Jawa Tengah. Di Medan dia sempat bekerja sebagai buruh tani. Namun penghasilan buruh tani amat rendah. Itu sebabnya Marsidi mengangguk saja ketika ada teman yang menawarinya kerja di Aceh.
Contoh lain, Priadi, 19 tahun. Nenek, kakek hingga paman dan bibi pemuda yang baru lulus sekolah menengah atas di Medan ini berasal dari Ponorogo, Jawa Timur.
Mereka juga masih menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari. Akibatnya, kawasan Lampuuk tak ubah perkampungan orang Jawa.
Mereka tinggal di bedeng-bedeng berdinding anyaman rumbia, beratap seng. Ada juga yang berdinding tripleks. Beberapa. Atap seng membuat terik matahari siang bakal “merebus” siapa pun yang berada dalam bangunan itu.
Luas bedeng sekitar 6 x 4 meter persegi. Daya tampung satu bedeng bisa mencapai 20 orang, seperti bedeng yang dihuni Marsidi. Baju, celana, dan handuk bergelantungan di seluruh dinding!
“Kalau tidur, ya jempol jumpa jempol.” Marsidi terkekeh. Belum lagi keringat beradu keringat, pikir saya.
Muslikun dan enam kawannya juga merasakan kondisi yang sama di Bitai. Baru beberapa hari ini mereka memilih pindah dari bedeng ke rumah yang hampir selesai dibangun. Alasan mereka, bedeng itu dihuni terlalu banyak orang. Jarak bedeng ke tempat kerja pun lumayan jauh.
Meski berada di bangunan yang lebih baik, tujuh kuli itu tetap tidur dengan alas seadanya, seperti tikar plastik, tripleks, terpal, atau kardus bekas.
Ketika malam datang, yang ada cuma gelap. Letak warung cukup jauh dari tempat mereka menginap. Jika mereka lapar, maka terpaksa masak sendiri ketimbang pergi ke warung.
Program berhemat dijalankan. Ongkos berangkat ke Aceh yang dihimpun dengan cara berutang kiri-kanan itu belum lunas. Bahkan, di hari Minggu atau hari libur mereka tetap bekerja untuk mengumpulkan uang lebih banyak agar utang terbayar.
“Kalau libur ya rugi. Kalau ndak sakit, ya lebih baik kerja saja. Buat apa libur, sudah datang jauh-jauh, ya rugi tho,” kata Muslikun, dengan logat Jawa Tengahan yang kental.
Mereka benar-benar seperti pekerja rodi atau kuli kontrak Jawa di masa penjajahan Belanda. Bedanya, mereka dibayar dan bekerja tak kenal waktu atas keinginan sendiri.
“Kalau di Waskita sudah tidak ada kerja, kita mau cari di tempat lain. Rencananya mau Lebaran baru kami pulang ke Jawa, setelah duit terkumpul.” Muslikun mengungkap impiannya.
PADA 1863, kapal Josephine melego jangkar di pelabuhan Sumatra Timur. Kapal itu mengangkut ratusan kuli kontrak asal Jawa yang didatangkan Jacobus Nienhuijs. Dia pengusaha Belanda yang membuka perkebunan tembakau di Deli.
Keharuman tembakau Deli sudah tersohor di pasar Eropa. Nienhuijs berencana memperluas lahan kebunnya agar produksi tembakau Deli bertambah dan menghasilkan keuntungan berlipat ganda.
Semula Nienhuijs hanya memakai tenaga orang Tionghoa dari Penang yang disebut laukeh. Tapi kemudian dia juga mempekerjakan puluhan kuli harian asal Melayu.
Pasokan kuli dari Tiongkok tersendat, ketika pemerintah negeri itu mempersulit warganya ke Deli. Di lain pihak, pemerintah Inggris di India juga mengajukan berbagai syarat bagi pekerja Tamil yang hendak ke Deli. Namun, calo buruh kebun di Penang dan Singapura tak kekurangan akal. Mereka mendatangkan kuli ke Deli, dengan dalih hendak mempekerjakan mereka di Johor.
Bagi tuan-tuan kebun, penduduk setempat, seperti orang Melayu dan Karo, dianggap tidak cocok jadi kuli. Mereka suka melawan.
“Tenaga kuli bangsa-bangsa Sumatera tidak laku dan tidak diterima di Deli, sebab mereka tidak patuh dan taat seperti kuli-kuli kontrak Jawa. Begitu pula mereka meminta gaji lebih dari kuli-kuli Jawa. Jika kuli-kuli Jawa tidak mau bekerja, mereka akan dimasukkan dalam penjara, siapa yang membantu mereka untuk lari akan dikenakan hukuman juga,” ungkap Nienhuijs dalam Oos-Indische Spiegel, yang terbit di Amsterdam pada 1876.
Istilah resmi Koelie-Ordonnantie atau Contract-Koelie yang disebut juga kuli kontrak muncul pada 1889. Aturan ini hanya berlaku bagi kuli asal luar negeri (Tiongkok dan Tamil) serta orang Indonesia dari luar Sumatra Timur. Karena itu jumlah kuli asal Jawa terus bertambah setelah Nienhuijs membawa mereka ke Deli. Jumlah tersebut mengalahkan jumlah buruh kebun asal Tiongkok dan Tamil.
Kata “koelie” diperkirakan berasal dari bahasa Inggris “cooli” yang mengadopsi kata “kuli” dari bahasa Tamil, yang artinya orang upahan untuk pekerjaan kasar. Kuli kontrak adalah sebutan bagi orang-orang miskin di Jawa yang kemudian mengikatkan diri pada perjanjian kerja. Tapi hidup yang mereka dapat di kebun jauh dari sejahtera. Banyak yang menderita berkepanjangan. Dalam Capitalism and Confrontation in Sumatra's Plantation Belt 1870-1979, Ann Laura Stoler menulis, “kuli adalah binatang yang harus dijinakkan, karena kuli adalah modern slavery.” Kuli sama dengan budak!
Saat perkebunan tembakau beralih ke karet pada 1926, kuli kontrak laki-laki Jawa terus bertambah hingga berjumlah 142.000 orang, sedangkan buruh perempuan asal Jawa 52.400 orang. Menurut catatan pemerintah Belanda, pada tahun 1920 jumlah orang Jawa di Sumatra Timur mencapai 353.551 orang, melebihi jumlah orang Melayu yang tercatat 285.553 orang.
Sama seperti kuli-kuli Jawa di Aceh masa kini, para kuli kebun ini pun tinggal di bedeng-bedeng. Tak sedikit yang disiksa dengan kejam ketika terjadi perkelahian atau pemberontakan atau pembunuhan di kebun. Sejarah masa lalu terus berlanjut. Pulau Jawa tak hanya pusat kekuasaan, melainkan juga pulau pemasok kuli atau orang upahan terbesar sampai ke milenium ini.
SENJA turun di Lampuuk awal Juni lalu. Pertanda gelap bakal menyelimuti perkampungan kuli. Saya mendengar dentam house music dari deretan warung.
Sebagian warung sudah menyalakan televisi dan memacak antena parabola yang akan menayangkan pertandingan sepak bola di ajang Piala Dunia di Jerman. Siaran itu menjadi obat lelah ratusan kuli di malam hari. Tapi tontonan tadi baru bisa disaksikan selepas sholat Isya.
“Sejak Maghrib sampai Isya, tidak ada warung yang buka. Setelah itu baru ada tontonan bola,” kata Hendra, salah seorang mandor.
Sebaliknya di Bitai, ketujuh kuli asal tanah Jawa tak banyak menikmati gempita Piala Dunia yang disaksikan jutaan pemirsa. Lewat jam 10 malam, mereka memilih mendekam di bangunan yang belum selesai. Beristirahat setelah lembur.
“Capek Mas,” kata Ahmad. Sulipin malah sudah rebah di lantai.
“Warung yang punya TV juga sudah tutup. Jadi mendingan istirahat saja. Besok ‘kan mesti kerja lagi,” imbuh Muslikun, sebelum saya berpamitan.
*) Samiaji Bintang adalah kontributor Pantau di Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar