Oleh Farida Indriastuti
Arief Suditomo menjadi wartawan cetak lantaran iseng, kini betah di televisi
HUJAN mengguyur jalan menuju Kebon Raya Cibodas, Bogor yang merupakan area hutan tropis di pegunungan wisata Mandalawangi dengan pemandangan Gunung Gede-Pangrango. Sungai mengalir jernih. Jalanan berbatu terjal. Di sebuah lahan berbukit, berdiri delapan bungalow, surau, dan aula, yang dibangun untuk menikmati keindahan kaki bukit Pangrango.
Di aula ada seorang perempuan mengenakan jaket tebal dan celana hitam. Ansye Saribanon Sapi’ ie Suditomo berusia 63 tahun dan telah membesarkan ketiga anaknya, yang salah satu di antaranya Arief Suditomo, presenter stasiun televisi SCTV, yang mungkin termasuk wartawan paling terkenal di Indonesia belakangan ini karena kemunculannya tiap hari di SCTV.
“Dia ini orangnya pendiam, pemalas, dan agak manja, tapi tidak pernah rewel,” kata Ansye tentang anaknya sulungnya dari tiga bersaudara ini.
Arief kecil juga pernah ikut belajar menyanyi pada Pranajaya, pelatih vokal anak-anak yang membuka sekolah Bina Vokalia.
Memasuki sekolah dasar keinginan Arief banyak berubah, tapi tak keinginannya untuk tetap bermain musik. Dia bahkan pernah dikirim ke Negeri Belanda dengan grup marching band Gita Wibawa Bakti pada 1985.
Hawa dingin terasa menusuk tulang, tapi hujan sudah mulai reda. Di bungalow milik keluarga Suditomo inilah, Arief dan keluarga besarnya biasa berakhir pekan atau sekedar refreshing. Bungalow tersebut berdesain sederhana, berdinding serta berlantai kayu.
“Tak ada yang istimewa dari Arief. Prestasi di sekolahnya pun biasa-biasa saja, kalau dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang lain,” kata Ansye.
“Hanya kadang-kadang saja dia pergi berenang dengan ayahnya setiap minggu, karena dia hobinya memang renang,” lanjut Ansye.
Olah raga adalah tradisi keluarga Suditomo. Ketika muda, Ansye merupakan atlet renang yang meraih berbagai penghargaan di tingkat nasional. Dua kali Pekan Olahraga Nasional atau PON diikutinya. Dalam PON ketiga di Medan pada 1950, yang dibuka Presiden Soekarno, Ansye berhasil merebut medali perak di cabang renang. Suaminya, Suditomo Sumoadmojo, juga penggemar tenis. Namun tak satu pun anak-anak Suditomo mewarisi jejak ibu mereka menjadi atlet. Mungkin berolahraga hanya sebatas kesenangan atau hobi.
Sepuluh tahun lalu, Agustus 1993, tiga redaktur senior suratkabar The Jakarta Post, Susanto Pujomartono, Raymond Toruan, dan Vincent Lingga menerima Mohamad Arief Sapi’ie Suditomo di ruang redaksi. Suasana ini tak begitu nyaman buat Arief. Ia nervous, karena baru kali ini berhadapan langsung dengan para redaktur harian berbahasa Inggris itu.
“Awalnya saya ragu bisa diterima, apalagi tak memiliki pengalaman kerja di media,” kisah Arief pada saya. Arief baru saja lulus dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.
Dia ingat sewaktu membaca iklan lowongan wartawan yang dimuat majalah Tempo. Isinya sebuah harian berbahasa Inggris membutuhkan reporter dengan persyaratan TOEFL minimal 550. Arief iseng-iseng melamar, mengirim biodata, sertifikat TOEFL, dan berbagai dokumen yang diperlukan, termasuk sebuah esei. Ketika itu The Jakarta Post tengah melakukan perekrutan besar-besaran.
Dari 1.000 pelamar hanya 10 orang yang diterima, termasuk Arief. Ini kejutan baginya. Segala macam tes pun harus dijalani, seperti tes psikologi, kesehatan, menerjemahkan, menulis berita, dan wawancara. “Saya ingat saat tes menterjemahkan artikel, dan harus diketik dengan mesin kuno yang besar sekali,” kenang Arief
Rudy Madanir, koresponden kantor berita Kyodo dan mantan wartawan The Jakarta Post yang termasuk 10 orang dengan Arief, terkesan pada penampilan Arief saat itu. “Wartawan biasanya berpenampilan eksentrik dan santai. Dia sikapnya santun dan serius, tapi terkesan agak borjuis, mendaftar saja bawa mobil,” katanya. ”Borjuis, tapi baik hati dan tipe pekerja keras, juga sangat mandiri.”
Salah satu syarat untuk diterima di harian tersebut adalah harus mengikuti tes debat. Satu tim terdiri dari tiga calon wartawan. Rudy dan Arief kebetulan berada dalam satu tim. Mereka harus menunjukkan kemampuan berargumentasi secara logis.
Suatu kali tim mereka diberi topik kebijakan pemerintah. Tak seperti kedua temannya yang bersikap oposisi terhadap pemerintah, Arief malah membela kepentingan pemerintah.
”Dia sangat Orde Baru,” kata Madanir, yang saat itu merasa kesal mendengar pendapat Arief. “Mungkin kalau tidak ada Arief, perdebatan tidak akan hangat dan menarik. Jadi lebih seru. Jelas mana yang pro dan mana yang kontra,” lanjut Madanir.
Perbedaan persepsi tak jadi soal. Tapi, kemampuan dasar lebih penting. Endy M. Bayuni, kini wakil pemimpin redaksi The Jakarta Post dan pada 1993 jadi redaktur halaman nasional, menilai kemampuan berbahasa Inggris Arief kurang memadai untuk standar suratkabar itu.
Menurut Susanto Pujomartono, saat itu pemimpin redaksi The Jakarta Post, Arief cukup berpotensi jadi wartawan. Sayangnya, selama setahun lebih bekerja di harian tersebut, Arief tak memperlihatkan prestasi yang menonjol. “Dia kurang pas menjadi wartawan cetak,” seloroh Pujomartono. “Kelemahannya barangkali karena dia kurang mampu membina lobi, serta sifatnya yang cenderung tertutup,” lanjutnya.
Menjadi wartawan tak hanya sekedar mencari berita, tapi perlu kemampuan lainnya. Arief menyadari kelemahannya. Ia tipe yang ceroboh. “Saya bukan orang yang teliti,” katanya.
Pernah suatu kali sepulang kantor, ia langsung disambut pertanyaan ibunya, “Kesalahan apa sih yang kamu bikin di kantor?”
“Tadi salah menulis grammar-nya, Ma, “ jawabnya santai.
“Kok bisa?” tanya Ansye.
“Namanya juga lupa, ma. Mau gimana?” kata Arief.
Ibunya hanya mengurut dada, “Wallahualam .…”
Dalam keluarga Suditomo, bahasa Inggris merupakan bahasa kedua setelah bahasa Indonesia, di samping bahasa Sunda. Arief dibesarkan dalam tradisi keluarga kelas menengah. Ayahnya pernah bekerja di kantor Sekretariat Negara.
“Waktu sekolah dasar saya pindahkan Arief ke sekolah yang berkualitas, di SD Cendrawasih II. Sekolah yang dikelola Yayasan Pendidikan Daya Dutika Departemen Luar Negeri, biar kemampuan berbahasa Inggrisnya bagus,” tutur Ansye.
Sekolah khusus bagi anak-anak diplomat itu terletak di jalan Iskandarsyah II di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Bangunan gedungnya tidak terlalu besar, karena kapasitas ruang juga terbatas hanya untuk 20 orang dalam satu kelas. Orangtua sudah berusaha, tapi kesungguhan anak juga yang menentukan hasilnya.
BAU harum semerbak ke seluruh ruangan. Sebidang dinding berhiaskan bunga-bunga putih, senada dengan catnya. Di ujung ruang terhidang berbagai penganan khas Sunda dan Jawa, juga buah-buahan dan soft drink untuk 4.000 undangan.
Siang itu di aula sebuah masjid di Senayan, Arief mengenakan jas krem dipadu sarung kotak-kotak. Adiknya menikah dan sebagai kakak Arief harus ikut jadi tuan rumah. Resepsi pernikahan tengah berlangsung di situ. Kurniasih Suditomo, sang mempelai wanita.
Para tamu berdatangan. Ada Moerdiono, mantan menteri sekretaris negara masa Presiden Soeharto, kemudian Hermawan Sulistyo—peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Roy B.B. Janis—anggota parlemen dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan sejumlah wartawan televisi serta media cetak.
Seorang bocah mungil kelihatan berjalan terhuyung. Ibunya mencoba mengejarnya untuk membantu agar si bocah tak jatuh. Si bocah tak lain buah kasih Arief dan Susan Karamoy. Sena Brintantoro Ramadan Suditomo lahir ketika sang ayah masih menyelesaikan studinya di University of Westminster, London, pada 2000 lalu. Usianya kini tiga tahun.
Perkenalan Arief dengan Susan berawal dari kebetulan. Keduanya bertemu di sebuah pesta. “Tak ada yang istimewa saat pertama kali bertemu,” kata Arief.
Di pesta berikutnya dengan tuan rumah yang sama, Arief bertemu lagi dengan Susan, promotion girl perusahaan penerbangan Sempati Airlines. “Itupun belum ada proses pacaran seperti layaknya orang berhubungan, hanya terbatas melalui telepon,” katanya.
Selang beberapa bulan Arief pun melamar Susan, yang berdarah Manado-Palembang, dan mereka menikah pada Maret 1999.
“Saya menikah di usia 30 tahun, tepat seperti target saya dulu, “ ujar Arief, lagi.
Berkat pernikahan pula, Arief Suditomo memanggil “uwak” pada Yogie S. Memet atau lebih populer dengan sebutan Yogie SM, yang pernah menjabat menteri dalam negeri di masa Soeharto. Kakak kandung ibunya, Emmy Sariamah, diperistri oleh Yogie.
Nama Yogie SM sempat kurang harum namanya ketika kantor Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Megawati Soekarnoputri di Jalan Diponegoro, Jakarta, diserbu sejumlah preman dan aparat keamanan pada 27 Juli 1996. Yogie dituduh terlibat dalam rekayasa penggulingan Megawati bersama sejumlah jendral, yakni Feisal Tanjung (mantan panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Syarwan Hamid (mantan kepala sosial politik), dan Sutiyoso (mantan panglima militer Jakarta). Di kalangan aktivis mahasiswa di masa itu, nama Yogie SM sering dipelesetkan menjadi “Yogie Salah Melulu.”
Pekerjaan Arief sebagai wartawan tak jarang bersinggungan dengan uwaknya itu, terutama bila berkaitan dengan berita-berita politik.
Endy M. Bayuni ingat pengalaman lucu di ruang redaksi seputar Arief dan Yogie SM, “Dia itu selalu di jadikan bahan ledekan (sebagai keponakan Yogie) oleh teman-temannya di kantor, tapi dia nggak marah, cuek saja.”
Suatu hari sepulang meliput Yogie SM, seorang wartawan marah-marah. Raut mukanya kelihatan kesal. Wartawan itu menumpahkan semua kemarahannya di ruang redaksi.
“Saya akan komplain ke Yogie,” teriaknya.
Di ruangan itu pula ada Arief, yang duduk diam, berjarak beberapa jengkal dari si wartawan yang mengamuk.
Kontan saja ada yang bereaksi, ”Heh elu maki-maki Yogie, emang nggak tahu keponakannya ada di dekat elu, tuh.”
Wartawan tadi lantas diam. Ruang redaksi pun lengang.
Santi W. Susanto, mantan wartawan The Jakarta Post yang kini bekerja di World Health Organisation, pernah melihat Arief tercengang-cengang menyaksikan ulah uwaknya di gedung parlemen.
“Yogie menyatakan bahwa dia tidak berbohong tentang suatu kasus. Dia sampai mengangkat kedua tangannya dan berani disumpah dengan Al Qur’an,” kata Santi.
Rupanya si uwak tengah memperagakan trik-trik meyakinkan massa dengan menempuh segala cara.
Tiba-tiba ada yang menyeletuk ke arah Arif, “Nah, lo…. Gimana tuh?”
Arief hanya tersenyum simpul.
PADA akhir 1994 Arief Suditomo meninggalkan The Jakarta Post. Dia tak bisa menyembunyikan rasa khawatir di awal keputusannya. Dia harus menghadapi situasi yang baru dan mulai dari nol lagi.
Kala itu siapa yang tak bangga menjadi reporter sebuah suratkabar bergengsi, dengan sistem dan kesejahteraan yang relatif mapan. “Gaji satu juta sudah tergolong besar, untuk biaya hidup sendiri, ” kata Arief.
Rudy Madanir, yang lebih dulu keluar dari The Jakarta Post, mengajaknya bergabung di program Liputan 6 SCTV yang baru saja lahir. Madanir sendiri, yang penampilan fisikna tak kalah dengan Arief, sudah bergabung sebagai presenter SCTV.
“Dia bisa melihat prospek yang bagus di SCTV” kata Endy M. Bayuni.
Pada Januari 1995, Arief bekerja di SCTV. Dia ingin berpikir lebih optimistis. “Apalagi institusi itu baru berdiri, mungkin bisa menjadi pionirnya, makin lama media visual seperti televisi makin menjanjikan, powerful dan sangat berpengaruh,” katanya.
Harapannya terbukti. Di SCTV kariernya melejit. Dia menjadi reporter dan presenter berita yang digandrungi banyak fans dari kaum hawa. Pernah seorang reporter majalah remaja berujar, “Arief tuh cool dan ganteng.” A-ha!
Dia berturut-turut memperoleh penghargaan Panasonic Award pada 1999, 2001, dan 2002 untuk kategori Indonesian Most Favorite Male News Anchor dan kategori Indonesian Most Favorite News Anchor.
Tak semua pujian ditujukan pada Arief. Dia juga dikritik. Ada yang menganggap Arief lebih cocok disebut selebritas ketimbang wartawan. Ada pula yang menyebutkan ia beruntung lantaran kelebihan fisik dan ekonomi keluarga; tampan dan anak orang kaya.
“Memang sebagai reporter prestasinya tidak begitu menonjol, hanya intensitasnya lebih banyak sebagai presenter berita atau menjadi MC (master of ceremony). Biasanya ke lapangan kalau ada kunjungan presiden ke dalam negeri ataupun ke luar negeri,” ujar Makroen Sanjaya, penanggung jawab Liputan 6.
Arief sebagai wartawan mungkin memang tak termasuk yang berprestasi tinggi. Urusannya lebih pada liputan resmi. Tapi televisi bukan hanya urusan reportase. Televisi beda dengan suratkabar. Televisi juga urusan penampilan. Cara bicara, gaya duduk, mimik wajah, kemampuan memanfaatkan make up dan pakaian serta tak terlalu kelihatan bodoh tapi juga tak terlalu kelihatan pintar. Di sini Arief jauh lebih mengerti ketimbang rekan-rekannya.
“Setiap orang pasti mengalami proses metamorfosis, butuh yang general dan lebih spesifik,” kata Arief.
Bukan pilihannya untuk selalu berada dalam studio dan menjadi pembaca berita. “Semua sudah diatur redaksi dan merupakan keputusan editorial policy, “ kata Arief, lagi.
Penampilannya setelah di SCTV diakui banyak kenalannya lebih terbuka dibanding dulu.
“Sekarang rasa percaya dirinya besar dibanding sebelumnya. Lihat saja saat membacakan berita,” ujar Susanto Pujomartono.
Arief merasa SCTV yang menuntunnya harus tampil berkualitas dan rapi, karena selalu berhadapan dengan publik.
Riza Primadi, mantan direktur pemberitaan Liputan 6 SCTV, mengatakan, “Rasa ingin tahunya sangat besar, dia selalu ingin belajar dan tidak pernah menolak untuk bekerja keras.”
Riza pernah menugaskan Arief meliput Olimpiade Atlanta, Amerika Serikat, pada 1995. Ini ajang olahraga bertaraf internasional yang cukup bergengsi dan terjadi setiap empat tahun sekali.
Arief ternyata tak hanya meliput berita, tapi juga bergulat dengan ketegangan lantaran sebuah bom meledak tak jauh dari hotel tempatnya menginap. “Saya diminta untuk kembali ke International Broadcasting Center (IBC), karena bom meledak persis di depan IBC,” kenangnya.
Dia melihat para korban ditandu masuk ke ambulan dan rintihan mereka jelas terdengar. Arief dan kamerawan temannya terpaksa masuk ke IBC, karena kamera mereka tertinggal di dalam. Mereka antre bersama ratusan wartawan lain yang serentak menuju gedung itu dari hotel masing-masing. Keamanan pun diperketat.
Saat Arief dan dua kamerawan keluar dari gedung, banyak jalan sudah diblokade. Mereka tak dapat lagi masuk ke lokasi ledakan. Gambar yang bisa diambil pun sangat terbatas.
”Saya berusaha mencari akses tapi gagal terus,” keluh Arief. Akhirnya dia meminta dua kamerawan untuk mencuri gambar dari sudut tertentu. Bahkan mereka sempat kena makian dan dampratan petugas keamanan.
“Daripada dimaki oleh Jakarta, lebih baik kena damprat bule,” kata Arief.
Setelah mendapat footage yang diinginkan, Arief mendapat informasi bahwa akan ada konferensi pers dari pihak keamanan setempat. Dia juga melihat jalan-jalan sudah diblokade, sehingga tak ada kendaraan yang boleh lewat.
“Kalau tidak salah, konferensi pers baru start jam tiga dinihari dan selesai pada jam setengah lima pagi,” kata Arief.
Setelah itu Arief dan kedua kamerawan harus kembali ke IBC dengan berjalan kaki dan setengah berlari untuk mengejar siaran pukul 06.00 waktu Atlanta, dengan selisih waktu 12 jam dengan Jakarta. Arief hanya memiliki waktu 30 menit sebelum presenter di studio Jakarta memanggilnya di Atlanta.
“Dengan kehebohan, ternyata kami berhasil,” kisah Arief.
Proses penyuntingan hanya diselesaikan dalam hitungan detik sebelum Atlanta dan Jakarta bergabung di layar.
“Saya muncul seadanya tanpa riasan sama sekali. Pokoknya kumuh,” katanya.
“Laporan itu sangat luar biasa, dia telah melakukannya dengan baik dan mengesankan,” puji Reza Primadi, yang sekarang menjabat direktur pemberitaan Trans TV.
Santi W Sukanto punya kesan tersendiri sewaktu meliput bersamanya ke Kamboja. Saat itu tahun 1997, Kamboja tengah dilanda pertikaian politik yang berakhir dengan peralihan kekuasaaan secara kekerasan.
“Arief menyusul belakangan. Kami bertemu di Phnom Penh maupun di Siem Reap, kebetulan satu rombongan dengan Menlu Ali Alatas yang mengunjungi Hun Sen, ” kata Santi.
Kamboja akhirnya diperintah Perdana Menteri II Hun Sen. Sementara Perdana Menteri I Pangeran Norodom Ranaridh melarikan diri ke Thailand. Dalam pemilihan umum, Hun Sen meraih kemenangan dan sah memerintah Kamboja.
“Kami meliput bersama-sama dan berusaha mendapatkan wawancara khusus Hun Sen. Tapi penjagaan sangat ketat. Akhirnya kami memutuskan untuk membagi tugas,” kenang Santi.
Ia dan Arief terpaksa berbohong pada petugas jaga agar bisa memperoleh izin, tapi tetap gagal.
“Pengalaman itu paling mengesankan selama karier saya,” kata Arief pada saya.
Menurut Arief, kegagalan itu terjadi karena wartawan dari Indonesia, tak ada yang bisa berbicara Perancis. Padahal di Kamboja, bahasa Perancis menjadi bahasa kedua setelah bahasa Khmer.
DI tengah kesibukannya kini, Arief masih menyempatkan diri untuk menambah pengetahuan dengan membaca. Biografi pemimpin Singapura berjudul The Singapore Story: Memoirs of Lee Kuan Yew sering dibacanya saat istirahat.
“Itu buku favorit saya,” katanya. Terkadang dia memutar musik klasik dan jazz untuk merangsang mood yang sering mandeg.
“Dia itu suka sekali menyendiri di kamar sampai berjam-jam,” kata Ansye.
“Orangnya sensitif banget. Ketika Lady Diana meninggal, dia ikut menangis,” kata Kurniasih, adiknya.
Sore itu di studio SCTV, jarum jam menunjukkan pukul 18.00, saat Arief muncul di layar televisi dan memberi salam pada pemirsa di seluruh tanah air, “Selamat petang saya Arief Suditomo ….”
Beberapa berita dibacakannya, lalu tiba saat untuk jeda iklan dan adzan magrib waktu Jakarta. Tapi, sepertinya ada yang tak beres pada laptop di depan Arief.
“Gimana nih laptop baru kok error,” gumamnya, kesal.
Seorang kru segera membetulkan posisi kabel. Arief pun siap membaca berita berikutnya, tentang kecelakaan kereta yang menewaskan ratusan orang di Kalkuta, India.
Pada pukul 19.00, siaran usai. Raut muka Arief terlihat lelah. Setumpuk kertas ditunjukkannya pada saya. Ada karikatur dirinya yang tengah merengut dengan mengernyitkan alis ke atas dan tertera kalimat “SAYA LELAH”. Maklumlah, berhari-hari Arief selalu pulang malam, menggantikan jadwal teman-temannya yang cuti Natal dan Tahun Baru.
“Sekarang bermalam minggu dengan keluarga,” katanya, sambil menghilang dari pandangan mata.*
Kamis, 10 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar