Kamis, 10 Januari 2008

Menyoal (Kembali) Makna Kebebasan Pers

Oleh ERWIN KUSTIMAN

SETIAP kali insan pers bertemu dengan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pada setiap 9 Februari, semestinya memang bukan makna seremonial yang mesti ditonjolkan, sebagaimana kerap dilakukan pada rezim otoriter dan feodal di masa lalu. Seharusnyalah pertanyaan-pertanyaan kritis dan introspektif terus dikembangkan.

Hal itu dilakukan dalam upaya mewujudkan kinerja pers "ideal" yang didamba tidak hanya oleh praktisi jurnalisme, melainkan juga oleh mereka yang berharap terus berlangsungnya proses demokratisasi, keterbukaan politik, dan lenyapnya praktik-praktik korup dan kolutif di negeri ini.

Sudah kerap kita dengar bahwa pers merupakan pilar keempat (fourth estate) dari demokrasi, setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Di masa lalu, eksistensi pers sebagai pilar keempat benar-benar dikebiri oleh rezim pemerintahan (eksekutif) yang ablosut dan otoriter. Hal serupa terjadi pada pilar lainnya yakni legislatif dan yudikatif.

Karenanya, harus menjadi pertanyaan kritis ketika tiga pilar dalam konsep trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) di negeri ini dipandang "bermasalah", benarkah pers sudah "tidak lagi bermasalah" saat keran kebebasan informasi bertiup kencang pascareformasi?

Deskripsi tentang kondisi kemerdekaan pers di Indonesia saat ini dipaparkan dengan baik oleh salah seorang praktisi pers Indonesia Leo Batubara. Dalam salah satu tulisannya, ia menguraikan bahwa sampai saat ini kemerdekaan pers sejatinya masih dalam pergulatan yang memunculkan paradoks.

Menurutnya, UU Pers sebagai turunan dari Amendemen ke-2 UUD 1945 memang menjamin kemerdekaan pers dan tidak mengkriminalkan pers. Tetapi KUHP sebagai turunan dari sistem hukum kolonial Belanda, sejak awal didesain untuk membungkam kemerdekaan berekspresi warga bumiputera, dengan mengkriminalkan pers.

Tulisan Leo Batubara sendiri merupakan tanggapan atas autokritik terhadap pers yang juga disampaikan insan pers lainnya, Tjipta Lesmana. Dalam tulisannya, Tjipta Lesmana justru banyak mengkritik kinerja dan praktik pers yang tidak bertanggung jawab (misalnya membuat berita tanpa rambu-rambu profesionalisme), yang hukumannya sepadan dengan penjara!

Terhadap dua pendapat yang dilontarkan oleh tokoh sekaliber keduanya, tentu saja kita memandang dua-duanya memiliki kebenaran faktual. Artinya, pendapat mereka sama-sama berdasarkan atas pengamatan dan pengalaman yang terjadi dalam praktik pers Indonesia sehari-hari.

Pada satu sisi, kita tak memungkiri masih banyak praktik-praktik tidak profesional yang dilakukan pers kita. Misalnya pencantuman sumber anonim yang secara tidak bertanggung jawab atau sekadar alibi sudah melakukan wawancara. Ada praktik fabrikasi berita yang tidak didasarkan fakta sebenarnya di lapangan.

Lebih dari itu, menggunakan produk jurnalistik bukan untuk tujuan memenuhi hak informasi publik, tapi lebih sebagai bentuk "pemerasan" terhadap pihak yang diberitakan, baik secara kasar atau atas dasar "kekeluargaan". Termasuk praktik-praktik lain yang menafikan sama sekali dimensi etis dan moralitas dalam menjalankan profesi ini.

Namun, di sisi lain, tentu saja kita khawatirkan pula praktik-praktik dari institusi di luar pers yang berkecenderungan mengebiri kemerdekaan, kebebasan, dan independensi pers. Baik berupa pemasungan melalui unjuk kekuasaan, kekerasan (represi), maupun penumpulan kritik dan idealisme pers lewat bribe (penyuapan) dalam beragam cara dan bentuk.

Dalam kaitan ini, kita ungkap kembali pernyataan Leo Batubara bahwa ketika jurnalis dan pers dalam pelaksanaan journalistic works terbukti telah memenuhi fungsi (1) melakukan kontrol, kritik dan koreksi, dan (2) melakukan jurnalisme investigasi, namun dinilai merugikan pihak lain, haruskah jurnalis dan pers itu terkena unsur pidana yang harus ditebus dengan sanksi kurungan?

**

DIPERLUKAN kearifan dan kematangan berpikir insan pers untuk benar-benar menjalankan praktik jurnalistik dalam koridor kebebasan, namun tetap dilandasi nilai-nilai etis dan profesionalisme. Tentu saja, praktiknya tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, karena untuk mewujudkannya tidak hanya berpulang pada individu jurnalis itu sendiri.

Mengacu bahwa produk jurnalistik adalah hasil kerja kolektif, maka munculnya kinerja pers yang idealis, profesional, dan independen sangat bergantung pada sosok institusi di mana jurnalis itu bekerja. Jurnalis akan berwibawa dalam menjalankan tugasnya ketika institusi yang menaunginya juga berwibawa dalam memenuhi bekal sang jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

Menurut salah seorang dosen Jurusan Jurnalistik Fikom Unisba Septiawan Santana, media massa yang independen tidak sama artinya dengan media massa yang tidak punya sikap. Ke mana arah angin bergulir, dia condong ke sana. Kuncinya adalah tetap kepentingan umum. "Subjektivitas media massa artinya segenap pengetahuan, sikap, dan internalisasi nilai yang dimilikinya dalam melihat dan mempersepsi sebuah fakta untuk kemudian semakin membukakan objektivitas fakta itu ketika dilaporkan kepada publik. Ini juga terkait dengan bekal pengetahuan, dimensi etis, moralitas, termasuk sisi finansial si wartawan," tuturnya.

Secara psikologis, ujarnya, adalah sebuah ironi ketika seorang wartawan yang kondisinya "kumuh" hendak mewawancarai seorang politisi yang diduga melakukan KKN, dengan penampilan wangi dan mewah. "Independensi adalah juga kemandirian media massa dalam segala hal, tingkat intelektualitas juga finansial," tegasnya.

Kembali tentang hakikat kebebasan pers, dalam tataran yang lebih filosofis, Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad) Bandung, Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D. menyebutkan kondisi pers saat ini disebabkan satu kata yang mewakilinya yakni paradoks (pertentangan--red).

Kondisi paradoksal ini tidak lepas dari proses transisional berbagai sendi kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara saat ini. Kondisi paradoks, menurut Deddy, disebabkan kebebasan yang dialami pers saat ini ibarat "pedang bermata dua". "Kebebasan itu bisa mencelakakan atau memberikan manfaat bergantung pada penyikapan pers itu sendiri."

Hanya, pers sekarang masih vacuum dari aturan-aturan yang baku. Aturan-aturan baku masih harus disosialkan. Dieksternalkan kemudian diinternalkan oleh individu atau institusi pers. Masa transisi ini dimanfaatkan sebagian pers untuk menumpahkan diri secara berlebihan.

"Mereka memanfaatkan kebebasan untuk orientasi keuntungan setinggi-tingginya. Jadi, pemikirannya hanya untuk duit saja. Pers memang harus hidup dari keuntungan iklan. Tapi pers jangan menomorsatukan keuntungan iklan itu dan bahkan dengan mekanisme pemanfaatan eksistensi lainnya. Keuntungan itu bisa tetap ada, tapi harus dengan meningkatkan kualitas, bukan melacurkan diri," ujarnya.

Kebebasan pers yang juga membuat kita terbuka terhadap segenap kesalahan yang ada dalam ruang sosial adalah sisi konstruktif dari "pedang bermata dua". Artinya kebobrokan dan kesalahan yang di masa Orde Baru tidak tersentuh, kini telah menjadi wacana publik. Tapi juga terkadang memunculkan apa yang disebut sebagai kebablasan. Orang ngomong di koran seenaknya. Ini disebabkan belum ada mekanisme yang mengatur, misalnya, soal batasan antara kebebasan pers itu dengan libel (pencemaran nama baik--red). Soal definisi pencemaran nama baik juga masih menjadi persoalan, karena situasi kita yang masih belum matang dalam berbagai hal.

Menyinggung contoh kasus majalah Tempo yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, Deddy Mulyana mengatakan, sebuah pemberitaan dikategorikan sebagai pencemaran nama baik atau bukan, harus dibuktikan di pengadilan. Persoalannya, secara umum lembaga peradilan kita belum menunjukkan kemandirian. Artinya, masih belum steril dari intervensi seseorang, kelompok, atau institusi yang memiliki pengaruh, baik kekuasaan atau lainnya.

Inti persoalannya adalah wacana, dan wacana dikendalikan oleh siapa yang berkuasa. Karena itu transparansi pengadilan harus dimunculkan. Ketika sesuatu diputuskan secara hukum maka kemukakan semua pertimbangan dilengkapi dengan bukti-bukti yang ada, yang bisa diakses siapa pun termasuk pers. Menurutnya, sepanjang itu terpenuhi, kalau memang pers bersalah, harus dihukum karena pers juga bukan malaikat. Pers dikelola oleh wartawan dan wartawan adalah juga manusia. Pers juga sama dengan profesi lainnya.

Putusan itu juga menjadi pelajaran bagi pers. Tapi, tentu saja, di balik itu juga ada interpretasi lain, misalnya putusan itu menjadi representasi dari bentuk baru otoritarianisme dan lain-lain karena memang situasi hukum kita pun masih transisional juga. Tapi, tetap hukum harus ditegakkan dan ini menjadi pelajaran bagi pers. Artinya, apa pun yang mereka tulis harus mempertimbangkan benar dampak dari pemberitaan tersebut (news judgement).

Dedy Mulyana yang lulusan strata satu (S-1) di Publisistik (sekarang Fikom) Unpad itu mencontohkan, ketika Washington Post menurunkan tulisan tentang seorang pengusaha yang digambarkan secara negatif, tetapi ternyata bukti pengadilan menunjukkan sebaliknya. Washington Post kemudian meminta maaf dan memberikan hak jawab. "Tapi dampak komunikasi bersifat irreversible (tak bisa dibalikkan--red). Hak jawab tidak bisa menjawab dampak yang timbul dari pemberitaan awal. Pengusaha itu kemudian melakukan bunuh diri karena telanjur menanggung beban psikologis. Apa yang bisa dilakukan ketika itu terjadi?" paparnya.

Deddy berpendapat, tidak ada kekekalan kebenaran di dunia ini. Seringkali kita menilai seseorang akan selalu sama pada ruang, waktu, dan bidang yang berbeda. Dalam komunikasi, ini disebut sebagai effect hallo. Pun demikian dengan apa yang dilakukan pers, pengadilan, atau institusi sosial lain buatan manusia.

Wacana standar kebebasan informasi itu memang tidak pernah selesai. Ia akan terus berkembang seiring dinamika sosial yang terjadi dalam sebuah entitas bangsa atau negara, mengikuti perkembangan sosial masyarakat, termasuk pencapaian teknologi komunikasi.

"Tapi kalau memang mau membuat standar, sebetulnya sederhana saja yakni keberadaan pers dengan kebebasan informasi yang melekat pada dirinya adalah demi kepentingan publik. Tapi juga jangan terjebak pada paham utilitarian, yaitu mengikuti bulat-bulat apa yang disenangi atau diinginkan mayoritas masyarakat, lalu itu yang dibenarkan. Bukan seperti itu."

Jadi, orientasi pers demi kepentingan publik itu juga harus disinari oleh para cendekiawan yang masih memiliki integritas dan hati nurani. Kepentingan publik itu juga bukan sesuatu yang statis karena harus selalu di bawah bimbingan pada cendekiawan, para ulama, para arif bijaksana, yang masih belum tercerabut dari fungsi mereka sebagai suara kebenaran. "Pada sisi ini, apakah mau dilaksanakan atau tidak, pers sebetulnya secara hakiki tetap harus memiliki misi 'transendental' atau 'profetik'. Tanpa harus mengklaim atau mengeksplisitkan diri sebagai pers Islam, Nasrani, atau agama lainnya. Nilai-nilai itu universal," tegasnya.***

Penulis, Wartawan "Pikiran Rakyat".

Tidak ada komentar: