Bagaimana seorang perempuan muda memimpin majalah berbendera Islam?
TELEPON genggam yang saya hubungi tak diangkat. Tapi terdengar suara perempuan, “Halo, saya istrinya Iwan. Iwan sedang off. Tinggalkanlah nomor telepon, handphone, insya Allah akan dihubungi kembali. Terima kasih.”
Iwan adalah Iwan Qodar Himawan, redaktur pelaksana majalah Gatra. Suara perempuan tadi adalah suara Uni Zulfiani Lubis, pemimpin redaksi majalah Panji Masyarakat atau biasa disebut Panji.
Uni Lubis hanya tertawa ketika ditanya mengenai handphone suami. “Sebenarnya main-main saja, lucu-lucuan. Tidak ada pretensi untuk mem-protect Mas Iwan. Tapi kalau efek sampingnya begitu, tidak apa-apa juga,” katanya, enteng.
Nama pemberian orang tuanya adalah Zulfiani Lubis --akronim dari nama ayah Zulkifli Lubis, asal Mandailing, Natal, dan nama ibu Siti Muryani, kelahiran Yogyakarta. “Anak pertama biasa menjadi monumen curahan kasih sayang orang tua. Kira-kira seperti nama Chintami, Cinta Kami.”
Lanjutnya, “Nah, sejak menjadi wartawan di Warta Ekonomi, saya memakai Uni,
nama kecil saya, sebagai nama komersial supaya mudah dihapal.”
KARIR Uni terbilang cemerlang. Ia jadi wakil pemimpin umum Panji di usia 28 tahun dan pemimpin redaksi di usia 32 tahun.
Ana Suryana Sudrajat, redaktur pelaksana Panji, tak menganggap karier Uni menanjak terlalu cepat atau lambat. Itu relatif. Lagi pula, posisi pemimpin redaksi, kadang tak ada hubungannya dengan karier kewartawanan. “Itu lebih pada bagaimana ia dipercaya oleh yang punya uang. Apakah orang ini bisa dipegang sama yang punya uang? Apakah ia sehaluan dengan yang punya modal?” kata Sudrajat.
Cepat atau lambat, tapi Bambang Wiwoho, mantan wartawan Suara Karya dan pemimpin umum Panji, punya peran besar dalam karier Uni. Wiwoho adalah ketua Yayasan Bina Pembangunan --yayasan yang pernah mengerjakan proyek konsultasi kehumasan di Departemen Keuangan, terutama soal kampanye pajak. Dulu, kala Fuad Bawazier jadi direktur jendral pajak, muncul iklan layanan masyakarat “Orang Bijak Taat Pajak.” Itu hasil kerja Yayasan Bina Pembangunan.
“Saya kenal Pak Wi sewaktu saya masih jadi wartawan di Warta Ekonomi. Karena Pak Wi adalah konsultan humas Departemen Keuangan, khususnya pajak, dia sering mengadakan gathering untuk wartawan ekonomi dan keuangan,” ujar Uni Lubis.
Kebetulan liputan Uni Lubis adalah ekonomi dan keuangan. Ia memonitor Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas).
“Sesudah kenal, sering ketemu, dapat tugas dari kantor untuk meliput ke luar kota atas undangan Departemen Keuangan, saya makin dekat sama Pak Wi."
Bagi Uni, wartawan ekonomi, kalau sudah bisa “memegang” menteri keuangan, gubernur Bank Indonesia, ketua Bappenas, sudah selesai. “Anytime kita bisa call dia. Jadi, wawancara menteri sudah tidak lagi excited.”
Jenuh, Uni bersama beberapa wartawan ekonomi berencana membuat majalah ekonomi. Proposal dirancang. Wiwoho tertarik. Majalah yang akan diterbitkan adalah
pengembangan dari majalah Berita Pajak, in-house magazine milik Direktorat Jendral Pajak. Menteri Keuangan Mar’ie Muhamad ingin majalah itu dikelola tim Uni Lubis di bawah pimpinan Bambang Wiwoho.
Ternyata proyek ini tak jalan. Wiwoho kebetulan ditawari Yayasan Pendidikan Islam al-Azhar (YPIA), yang dipimpin kyai Hasan Basri, agar menyelamatkan Panji, majalah warisan ulama kondang Buya Hamka. Panji sempat dua tahun tak terbit.
YPIA ingin Panji terbit kembali. Wiwoho bilang, “Kalian memang ingin majalah ekonomi. Tapi, ini ada yang minta tolong. Mereka bersedia kalau Panji diubah format menjadi bukan majalah Islam. Artikel-artikel yang umum, porsi pemberitaan politik, bisa banyak.”
Uni setuju dan ikut mengelola Panji bentuk baru. Wiwoho memilih Uni Lubis jadi wakil pemimpin umum.Wiwoho pemimpin redaksi merangkap pemimpin umum. Di posisi itu, Wiwoho berharap, Uni mampu mengembangkan sisi bisnis Panji. Harapan ini tak terwujud karena Uni tak cocok berbisnis. Sementara Wiwoho tak sanggup pula menjalankan fungsi pemimpin redaksi.
Fuad Bawazier, yang ikut mendanai Panji, lalu meminta
Tapi ecip tak lama memimpin Panji. Ia mundur dan alasan yang disampaikan--baik lisan maupun tulisan-- ecip sudah terlalu lama meninggalkan Universitas Hasanudin,
Sinansari ecip memperoleh cuti panjang dari Universitas Hasanudin untuk bekerja di Republika, koran milik Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Tapi, ketika pindah ke Panji, yang tak ada hubungan dengan ICMI, ketidakhadirannya di kampus dipersoalkan. Pada 1 Februari 1999, ecip resmi diganti Uni Lubis.
Sesungguhnya, Uni sudah menjalankan fungsi pemimpin redaksi sejak Panji versi baru terbit. Wiwoho menyatakan diri nonaktif di redaksi sejak awal, “Karena saya tidak begitu aktif, maka otomatis aktifitas redaksi sehari-hari ada pada Uni.” Itu dikemukakan dalam sebuah pertemuan antara Wiwoho dengan para redaktur pelaksana.
Di situ langsung ada reaksi. Muncul kasak-kusuk. Cukup pedas di telinga Uni. Bagaimana majalah Islam dipimpin seorang perempuan yang juga masih yunior?
Syu’bah Asa adalah redaktur senior Panji yang keberatan Uni memimpin redaksi. Penolakan Syu’bah, mantan wartawan Tempo dan Editor, sudah jadi rahasia umum di Panji.
Menurut Uni, ada dua hal mengapa Syu’bah menolak. Syu’bah tak bisa dipimpin oleh orang yang lebih yunior. Syu’bah juga merasa tak cocok kalau dipimpin seorang perempuan.
SYU’BAH Asa saya temui di Yayasan Wakaf Paramadina,
“Saya tidak bilang itu fitnah, tapi itu keliru. Saya tuh feminis,” tukas Syu’bah. Ia menyebut nama Aisyah, istri nabi Muhammad saw yang dikenal progresif, sebagai tokoh yang dikaguminya. “Saya tidak tahu siapa yang ngomong begitu. Saya tidak sesempit itu.”
Syu’bah bilang, yang menolak Uni karena ia perempuan justru Hasan Basri, salah satu pemilik modal Panji, ayah mertua pengusaha Fahmi Idris, kini pemimpin umum Panji. “Saya kira Uni tahu. Yang saya dengar, ketika Uni menjadi pemimpin redaksi, lalu kiai-kiai, terutama mertua Fahmi, menolak. Kalau bisa jangan perempuan.”
Hasan Basri kini sudah tiada. Ketika saya tanya apakah Syu’bah Asa setuju pengangkatan Uni, ia tak mau menanggapi. “Katakan saja sama Uni, Pak Syu’bah tidak mau omong sama sekali tentang Anda. Soal penilaian bisa berbeda. Terus soal data, saya ngomong apa, dia ngomong apa, bisa salah. Maklum, semua juga bisa bohong. Tidak jelek
Uni kaget. “Saya tidak pernah dengar ihwal kiai Hasan Basri complain tentang saya seperti yang disebut Pak Syu’bah, karena yang aktif rapat-rapat dengan pengurus yayasan, yang kiai-kiai itu, saya,” sergah Uni.
Ana Suryana Sudrajat adalah orang mengajak Syubah ke Panji. Ia kenal Syubah sejak lama, ketika Syu’bah masih bekerja buat Tempo. Syu’bah diminta pensiun dini Mei 1999, atau dua bulan setelah Uni memimpin redaksi Panji. “Menghadapi perseteruan Uni dan Pak Syu’bah, saya berusaha netral. Keduanya adalah teman saya. Saya akan tetap berteman baik dengan mereka. Saya respek pada Pak Syu’bah. Ia adalah salah satu editor terbaik di
Menurut Sudrajat, Syu’bah mungkin keberatan penunjukan Uni karena wawasan Uni belum cukup.Wawasan berkaitan dengan bagaimana bersikap menghadapi persoalan, di situ ada wisdom, macam-macam. “Jadi bukan kemampuan teknis menulis, menerobos sumber dan lain-lain. Saya tidak tahu Pak Syu’bah menginginkan siapa untuk menjadi pemimpin redaksi,” ujarnya.
RUTE menuju rumahnya ditulisnya dengan jelas dalam e-mail, “Kalau Anda naik taksi, tinggal bilang saja, Perumahan Permata Timur II. Rumah saya di deretan itu, cat warna kuning, pagarnya hijau toska. Agak rumit, ya? Tapi, mudah-mudahan ketemu deh lokasinya.”
Saya datang ke rumah Uni Lubis untuk wawancara. Uni berdandan santai dengan baju lengan pendek dan celana pendek berbahan katun warna hijau. Tanpa riasan di mukanya, ia terlihat agak mengantuk di siang panas bulan puasa lalu, she’s in her period. Tapi ia menjadi bersemangat ketika obrolan mengalir lancar dan sama sekali segar bugar menjelang sore saat wara-wiri menyiapkan masakan buka puasa. Uni gemar memasak, dan enak.
Uni Lubis diberi hidup lancar dan linear. Terlahir sebagai anak peranakan Jawa-Batak di Jakarta, 29 November 1967. Sebagai hakim, Zulkifli Lubis, yang dipanggilnya papa, kerap pindah tugas.
Di Bangil, Pasuruan pada 1971, Uni kecil mengenyam taman kanak-kanak. Di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat pada 1975, Uni menamatkan sekolah dasar. Di Tangerang, Jawa Barat sejak 1981, Uni menyelesaikan sekolah menengah dan sekolah lanjutan. Namun, ayahnya masih harus bertugas di Yogyakarta, lalu Tual, Maluku Tenggara, dan baru berakhir di pengadilan negeri Jakarta Pusat pada 1995. Tiga tahun sesudahnya, Zulkifli Lubis, kini 59 tahun, pensiun untuk hidup tenang di rumah yang lengang.
Uni remaja pindah ke
Lulus 1990, Uni masuk majalah Warta Ekonomi. Dua tahun kelayapan di lapangan ia menemukan jodohnya, Iwan Qodar Himawan, wartawan pendiam, saleh,
kelahiran
Mereka menikah 1 April 1994. Uni umur 24 dan Iwan 29 tahun. “Dia pintar, cermat, sistematis, dan sederhana. Perpaduan yang sangat saya sukai dari seseorang. Empat sifat itu yang membuat saya memilihnya menjadi suami.”
Bagaimana sebaliknya? “Karena sudah jalan bareng terus cocok. Itu saja,” ujar Iwan Qodar.
Kini Uni Lubis memimpin Panji Masyarakat. Ia jadi pemimpin redaksi sejak rapat umum pemegang saham 1 Februari 1999. Setahun sesudahnya Uni dikukuhkan jadi direktur PT Panji Media Nusantara, perusahaan penerbit majalah mingguan berita itu. Lengkap sudah hidup Uni. “I’m so lucky. Saya sudah mendapatkan semua yang saya inginkan. Kini, saya hanya ingin diingat sebagai orang biasa.”
RUMAH asri seluas 250 meter persegi itu adalah harta bersama Uni dan Iwan. Minggu sore itu, sebuah sedan Toyota Starlet parkir di garasi. Uni bilang tak punya harta pribadi yang berlebihan. Ia bilang nyaris tak punya tabungan.
Mereka pun berbagi tugas, “Mas Iwan menabung dan gaji saya untuk belanja sehari-hari. Mas Iwan orangnya sederhana. Ia yang nyicil rumah Rp 3,5 juta ditambah kadang bayar tagihan telepon. Saya boros. Gaji saya habis untuk menutup keperluan sehari-hari, beli baju, buku, makan, belanja bulanan, juga untuk mengongkosi social cost selaku pemimpin.”
Rumah pertama mereka terletak di Bekasi. Iwan yang beli. “Karena dulu Mas Iwan karyawan Tempo, gajinya lebih besar daripada gaji saya di Warta Ekonomi. Saat itu gaji saya hanya Rp 300 ribu, lebih besar uang saku saya waktu mahasiswa,” kenang Uni.
Rumah kedua di Permata Timur. Untuk membeli rumah kedua, Uni meminjam uang ke ayahnya. Pinjaman itu baru lunas beberapa bulan lalu setelah rumah Bekasi dijual. “Laku Rp 85 juta,” kata Uni.
Mula-mula, Uni enggan membuka isi dapurnya. Namun, ketika diingatkan bahwa ia berkerja di media massa di mana ada saham Fuad Bawazier, mantan menteri keuangan zaman Presiden Soeharto, ia terhenyak. Banyak bisik-bisik tak enak. Bawazier dikenal suka memberikan dana buat oposisi melawan Presiden Abdurrahman Wahid.
“Saya sama sekali tak keberatan memberitahukan nomor rekening kalau memang perlu, untuk dicek berapa isinya,” kata Uni.
Memang, Uni Lubis orang yang terbuka, bahkan menjawab hal-hal yang tak membuatnya nyaman. Seperti dilukiskan Jasmin Sofianti Jasin, direktur eksekutif Lembaga Bina Antar Budaya, sahabatnya semasa kuliah, “Saya tidak usah pusing membaca dia, kalau marah ya marah, kalau senang ya senang.” Bahkan, sewaktu disodori artikel di majalah kebugaran Fit bertajuk “Pijat Erotik: Menyalakan Gairah Bercinta,” dengan enteng Uni Lubis menyatakan ia sudah melakukannya.
“Agaknya hanya satu hal yang tidak dia ekspresikan terbuka, yaitu saat sedih. Dia selalu tampil kuat dan tabah. Namun, dia juga punya saat-saat di mana dia sedih, kecewa, atau mungkin kecil hati. Saat-saat seperti itu adalah saat yang sangat pribadi buat Uni,” kata Jasmin.
Di rumah seharga Rp 250 juta yang mereka biarkan sesuai aslinya ini, Uni dan Iwan hidup berdua, belum punya anak, dan tampaknya bahagia. “Soal ingin anak juga nggak usah ditekankan betul. Kesannya cengeng ya. It’s my personal problem.”
Iwan bilang kadang-kadang Uni menempuh risiko untuk memuat sebuah berita. “Seringkali, ketika saya baca Panji, saya terkaget-kaget dengan berita yang diturunkannya. Mungkin karena dia dibesarkan oleh kultur media yang lain. Tiap media punya kultur sendiri-sendiri. Kalau Anda masuk Kompas akan lain dengan Republika,” ujar Iwan.
Iwan dan Uni bekerja di majalah mingguan yang bersaing. Ini menyulitkan. “Kalau saya punya gosip yang diyakini akan berdampak besar, saya bagi di ruang rapat Gatra. Saya digaji Gatra. Kedua, saya ingin menjaga kepercayaan orang lain.”
Kami berpisah setelah lelah berbincang di beranda belakang.
UNI Lubis suka seminar. Menjadi pembicara atau moderator adalah menu mingguannya. “Saya menyempatkan diri menghadiri undangan seminar, minimal sekali dalam seminggu. Jenuh juga terus-menerus kejar-kejaran sama narasumber.”
Maka kami janji bertemu di sebuah acara seminar di Jakarta. Uni jadi moderator. Ia memakai blus biru tua, bunga-bunga kuning kecil dipadu celana panjang berbahan jatuh biru tua, dan sepatu pantofel warna senada. Kacamata minus ukuran tiga setengah dan satu setengah, scarf lengkap bros tersemat, kalung berliontin kecil, cincin di jari, jam tangan, kadang berbando, adalah aksesori yang tak pernah absen melengkapi penampilan Uni Lubis.
Sebagai perempuan, Uni peduli untuk terlihat cantik. “Artinya, terlihat tidak kotor. Tidak mengganggu orang sekitar. Tidak bau keringat, misalnya.” Makanya, ia memakai So Pretty parfum dari Cartier atau Red Door wewangian keluaran Elizabeth Arden. Ketika kami bertemu lagi di tempat yang berbeda ia berbusana serba ungu. Pagi basah di bulan Februari itu, Uni membubuhkan blush on dan eye shadow, juga ungu.
Saya memakai kesempatan ini untuk bertanya bagaimana Panji memisahkan kepentingan bisnis dan kebijakan editorialnya? Bagaimana mengenai advertorial, materi iklan yang sekilas sulit dibedakan apakah promosi atau berita?
Uni memberi batasan dengan dicantumkannya kata advertorial, besar ataupun kecil, di halaman bersangkutan. “Saya bisa tunjukkan bukti bahwa sebuah harian besar pun melakukan itu. Dalam salah satu edisinya, koran tersebut pernah memuat artikel tentang (sepeda motor) Jialing tiga halaman besar. Padahal, artikel itu jelas advertorial,” paparnya.
Namun, ketika saya sodori artikel edisi khusus Panji berjudul “Gayanya Digital 2001” Uni tertegun. “Saya terima kritikan ini,” ujarnya sportif. Artikel itu advertorial namun tak mencantumkan kata advertorial.
JAKOB Oetama dari Kompas adalah wartawan senior yang dikagumi Uni Lubis. “Orang kalau ditanya siapa wartawan yang dikagumi, jawabannya selalu Mochtar Lubis. Aku nggak begitu kenal Mochtar Lubis.”
Generasi Uni Lubis memang tak begitu kenal Mochtar Lubis, editor legendaris almarhum harian Indonesia Raya.
Kekaguman Uni terhadap Jakob Oetama itu pula yang dia pakai untuk bahan ngamuk-ngamuk ke Kontan, ketika tabloid milik Kelompok Kompas Gramedia itu menulis berita yang tak mengenakkan Panji.
“Saya perhatikan karakter Kompas sangat dipengaruhi karakter Pak Jakob. Pertama, Kompas sangat menjaga solidaritas sesama media. Maka, hampir tidak pernah menulis, dengan nada menjelekkan, media lain. Dan itu tidak dilakukan Tempo dan lainnya.”
Tempo edisi 11 Februari 2001 menurunkan laporan yang mengatakan Panji kesulitan dana dan bakal berhenti terbit. Uni Lubis kesal dengan berita itu karena ada ketidakakuratan dalam beritanya.
Wajah Uni agak tegang. Ia bilang, kalau melihat dua kutub media besar berikut bos-bosnya, orang melirik Kompas dan Tempo. Keduanya jadi semacam acuan. “Padahal, yang namanya Tempo ketika dibredel, kita semua turun ke jalan, panas-panasan. Tapi, ia cuek aja tuh kalau mau menghantam orang. Jadi, karakternya beda banget dengan Kompas,” katanya.
Jakob Oetama menjaga betul hal macam itu. Oetama tahu medianya besar dan pengaruhnya pun besar. Oetama sadar jika korannya yang besar itu menulis sesuatu, pengaruhnya akan luas. “Pak Jakob itu kalau ngomong enak sekali, berisi,” sergahnya.
Wajahnya mulai melembut. Selama wawancara, kali ini di sebuah cafĂ©, ada Fenty Effendy, mantan wartawan majalah Forum Keadilan dan kini Metro TV. Fenty ikut mendengarkan dan sesekali menyela pembicaraan, “Mbak Uni mungkin terlalu sensitif?” Uni terdiam. Namun segera ia bilang Tempo memang tak melulu memberitakan Panji yang jelek saja.
Toh pemberitaan Tempo bulan Februari itu membuatnya meradang. “Panji dibilang akan berhenti terbit!” ujarnya. Mungkin, kata Uni, sudah jadi bawaan Tempo, menelanjangi kepemilikan saham dihubungkan dengan warna-warni politik media lain. Contoh lain, Kontan menulis soal majalah Sabili sebagai majalah Islam dengan tiras terbesar. Di sana, ada kutipan pemimpin redaksi Sabili Zainal Muttaqin, “Kalau kami independen. Sedangkan Panji tidak, karena ada Fuad.”
Kalimat dalam berita itu hanya berhenti di situ. Panji, kata Uni, tidak diwawancarai. “Dengan kalimat yang begitu saja, sudah bisa membentuk opini orang bahwa Panji, karena ada Fuad, maka tidak independen. Itu salah satu yang saya protes.”
Yopie Hidayat, wakil pemimpin redaksi Kontan, tabloid mingguan tempat beberapa wartawan eks Tempo bekerja, jadi sasaran kemarahan Uni Lubis. Yopie adalah kawan lamanya, sejak mereka jadi reporter pemula di Warta Ekonomi.
“Saya bilang, kalian tidak fair secara jurnalistik. Kenapa selalu pemilik Panji dipermasalahkan? Tulisan itu sama sekali tak memuat, seujung kuku pun, siapa pemilik Sabili. Bagaimana kalian bisa yakin pemegang saham Sabili tidak punya interest politik?” sergah Uni.
“Saya heran, kayak saya tidak tahu saja, yang namanya Tempo itu mayoritas sahamnya dipegang Ciputra. Dulu, seminggu sekali, kami, para wartawan ekonomi, menginap di rumah Kang Moebanoe Moera. Ia cerita bagaimana Tempo tidak bisa menulis pencemaran Pantai Indah Kapuk.”
Pantai Indah Kapuk adalah proyek perumahan dan lapangan golf milik pengusaha Ciputra yang diprotes aktivis lingkungan karena dianggap merusak ekosistem Pantai Kapuk di utara Jakarta, dekat bandar udara Cengkareng.
Moebanoe Moera pernah bekerja di Tempo. Dua rekan Moebanoe, juga eks-Tempo, Bambang Aji dan Budi Kusumah, adalah wartawan yang menulis artikel tentang Sabili di Kontan.
Menanggapi masalah Tempo ini, pemimpin redaksi Tempo Bambang Harymurti menjawab email saya. “Tidak semua artikel di Tempo saya baca sebelum dicetak --kebetulan artikel media itu termasuk yang baru saya baca setelah Uni telepon saya dan protes soal tulisan itu.”
“Pada prinsipnya kami ada perbedaan: saya menganggap menulis tentang media lain ya sama saja seperti menulis tentang profesi atau industri lain, sedangkan Uni menganggap harus ada diskriminasi (sesama media jangan saling ganggu),” tulis Harymurti.
Uni Lubis lantas jujur mengatakan Tempo pernah membantu Panji ketika menulis laporan tentang Panji yang memuat rekaman pembicaraan telepon Presiden B.J. Habibie dan Jaksa Agung M. Ghalib yang bikin geger itu. “Nuansanya sangat simpati,” ujar Uni Lubis.
DESAS-desus memang jahat. Di kalangan wartawan, desas-desus terkadang kejam sekali. Uni tak luput dari gosip bernada kurang enak. Desas-desus tentang Uni Lubis yang sempat saya dengar, “Uni itu kan public relation for hire.”
Maka, dalam perbincangan kami di sebuah cafe Jakarta, Uni menjawab semua tuduhan itu. Tak puas dengan jawaban yang disampaikannya, mungkin juga karena di tengah ingar-bingar suara musik, Uni mengirim tambahan jawaban ke e-mail saya.
“Saya terpikir pertanyaan kamu, ‘Bagaimana tanggapan Anda soal tudingan bahwa Anda adalah public relation dari misalnya Fuad Bawazier?’ Ini mirip dengan pertanyaan model lain, ‘Berapa sih Anda atau Panji dibayar Fuad Bawazier untuk menurunkan cerita Aryanti?”
Baris e-mail berikutnya. “Lho, Panji memang dibayar Fuad. Wong dia investor Panji. Diurut-urut juga, saya kan menerima gaji dari perusahaan ini, yang notabene dibiayai antara lain oleh Fuad. Biaya lainnya ya datang dari hasil penjualan dan iklan. Tapi, tetap saja, modal awal Panji ya antara lain dari Fuad.”
Bagi Uni Lubis, pertanyan itu lucu untuk ditanggapi. “Wong sudah kasat mata, cetho welo-welo, kok masih ditanyakan?” lanjutnya. Ia mengakhirinya dengan, “hi..hi..hi...!” Tanda geli.
Uni gemas dan benci menanggapi desas-desus. Ia lantas menyarankan saya untuk meriset apakah Panji atau dirinya pernah membuat artikel yang memuji-muji Fuad Bawazier, atau Ginandjar Kartasasmita, mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri zaman Soeharto, atau nama lain yang dituduh terlibat korupsi.
Ia bilang tak fair jika Panji terpaksa tak memuat gagasan, pekerjaan, pernyataan atau kebijakan Fuad Bawazier, Chairul Tanjung, atau Fahmi Idris, yang secara rasional baik dan menguntungkan bangsa ini.
Padahal yang mendanai Panji ya Fuad, Chairul, dan Fahmi. Sementara Panji juga memakai banyak halaman, kadang agak muji-muji, kepada nama-nama yang secara finansial tak punya kontribusi apa-apa terhadap Panji.
“Apa sih keuntungan saya jadi antek Fuad atau Ginandjar? Jika itu materi, no! Dari Ginandjar apalagi, never! Kamu sudah lihat rumah saya. Kamu sudah lihat bagaimana kehidupan saya. Uni bertubi-tubi menghujani saya dengan jawaban-jawaban itu.
Jadi, apa keuntungan Uni Lubis dekat dengan mantan pejabat rezim Soeharto itu? “Paling-paling akses. Tapi, sejak di Panji, sama Fuad saya nggak pernah wawancara. Rasanya rugi juga disebut antek, padahal saya nggak kaya karena mereka. Ada orang yang menjadi sangat kaya karena mereka.”
Fuad Bawazier dan Ginandjar Kartasasmita, terlepas tuduhan kasus korupsi mereka, bagi Uni adalah orang-orang cerdas. Fuad berani pasang badan. “Politik memang kotor, kan?” sergah Uni.
Uni Lubis membandingkan keberanian Fuad dengan para penulis di situs internet www.indopubs.com yang lebih terkenal dengan nama Apakabar. Ia heran zaman terbuka kok masih ada yang menggunakan nama samaran. Lalu banyak milis yang menurut Uni isinya membela Gus Dur.
Padahal, di milis Apakabar itu sebelum reformasi, karena represi penguasa, banyak ide dan berita kritis ditampung. “Kini, milis itu tak lebih menjadi corong kekuasaam. Apakah ini hakikat reformasi? Saya sih cuek saja dibilang wartawan antek Orde Baru. Saya nggak perlu predikat wartawan reformis,” ujarnya.
Masih soal Fuad Bawazier, menurut Uni, kasihan anak-anak Panji yang dari minggu ke minggu sibuk dan capek mencari usulan berita. “Lagian, mereka juga belum tentu ketemu Fuad setahun sekali,” lanjut Uni.
“Istilah reformis sudah mengalami inflasi. Kacau,” kata Uni. Ia meminta saya menilai Presiden Abdurrahman Wahid dan Amien Rais, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. “Mereka mengaku reformis, tapi kelakuan politiknya sama saja seperti zaman Orde Baru. Primitif.”
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri malah memimpin partai yang sangat tak reformis dan menolak pemilihan presiden langsung. “Kalau Akbar Tanjung, sih udah pastilah nggak reformis. Lagian dia juga nggak pernah mengklaim diri reformis,” ujarnya sengit, mengacu pada ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan orang nomor Partai Golongan Karya warisan Soeharto itu.
Malam Jumat itu, di cafe Kuningan itu, tempat nongkrong para eksekutif muda, tak banyak pengunjung datang. Ada pesulap kondang dan pasangannya, di meja seberang. Setengah berkelakar, Uni bilang naluri jurnalistiknya sempat mendorongnya untuk memotret pertunjukan kencan itu, dan menjadikannya berita.
Lalu, Uni hanyut dalam lamunannya ketika sejenak kami berdiam diri. Tanpa saling memberitahu, kami ternyata minta lagu lama Gloria Gaynor yang menghentak, I Will Survive. Saya menyukai lagu ini terutama sejak Panji diberitakan yang tidak-tidak sama Tempo.” Begitulah. Uni bersenandung lirih tapi bernada pasti, I will survive….
Mungkin Uni lelah. Hari itu ia puasa sunnah hari Kamis. Sehabis berbuka bertiga dengan Iwan Qodar, kami berdua berangkat fitness. Memakai celana training panjang abu-abu dipadu kaus hitam bertuliskan, “Trust Me. I’m a Reporter” --dibelinya sewaktu ikut program Jefferson Fellowship di University of Hawaii, Amerika Serikat.
www.pantau.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar