Kamis, 10 Januari 2008

Tantangan Pers di Masa Depan Masih Besar

05 May 2007
Koran Tempo, Sabtu, 05 Mei 2007

JAKARTA -- Anggota Dewan Pers, Leo Batubara, mengatakan tantangan terhadap kebebasan pers di Indonesia masih besar. Tantangan itu berupa pengajuan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara, rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta tujuh Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika yang mengebiri kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia.

Di lain pihak, kata Leo, dalam beberapa kesempatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu meminta semua jajaran di bawahnya terbuka kepada pers. "Jadi presidennya tebar pesona, menterinya tebar ancaman," ujar dia kemarin.

Menurut Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan, sejak kebebasan pers dikumandangkan pada 1998, kasus kekerasan terhadap wartawan Indonesia masih tetap terjadi. Data terbaru yang dilansir Aliansi Jurnalis Independen Indonesia dalam memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional menyebut, selama periode 1 Mei 2006 hingga 30 April 2007, setidaknya tercatat 53 kasus kekerasan menimpa jurnalis dan media. "Seharusnya pers bebas menggunakan fungsi kontrolnya tanpa harus ada sensor dan tekanan dari pihak mana pun," ujar Manan kemarin.

Jumlah ini masih relatif sama dengan jumlah kekerasan pada periode yang sama pada tahun lalu, yakni 54 kasus. Organisasi ini juga mencatat masih maraknya kriminalisasi terhadap karya jurnalistik. Manan mengungkapkan, sepanjang 2003 hingga April 2007, terdapat 41 kasus terkait dengan pencemaran nama baik di Indonesia, baik terhadap media maupun jurnalis di berbagai kota di Indonesia. Hanya enam kasus atau 14 persen yang menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai acuannya.

Rendahnya penggunaan Undang-Undang Pers untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan sengketa pers, menurut Manan, menunjukkan masih rendahnya pemahaman aparat penegak hukum dan masyarakat tentang fungsi serta peran pers sebagai instrumen dan penjaga demokrasi. "Padahal Undang-Undang Pers sudah menyediakan mekanisme penyelesaian masalah yang sesuai dengan koridor dan prinsip-prinsip pers dalam negara demokrasi," ujarnya.

Menurut Leo, dari data yang dilansir lembaganya, memang ada tren lonjakan pengaduan atas karya jurnalistik. Selama 2006, hanya ada 207 pengaduan. Tapi, baru empat bulan pada 2007, sudah ada 107 pengaduan. Namun, Leo menganggap lonjakan ini positif. "Masyarakat menjadi lebih sadar bahwa proses penyelesaian sengketa dengan media tidak langsung ke polisi atau jaksa, tapi lewat Dewan Pers," ujarnya.

Meski begitu, Leo tidak menafikan kalau karya jurnalistik yang dipublikasikan perusahaan media belum memenuhi standar. Menurut dia, dari 851 perusahaan penerbitan pers, hanya 30 persen yang sehat. "Sisanya masih menggaji rendah wartawan, membuat karya yang menyudutkan pihak tertentu, tidak ada program latihan rutin untuk mengasah kemampuan wartawannya, dan banyak kelemahan lainnya," papar dia.

Kamis siang lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengundang seluruh anggota Dewan Pers dan anggota Komisi Penyiaran Indonesia di kantornya. (raden rachmadi | badriah)
(www.ajiindonesia.org)

Tidak ada komentar: